Senin, 06 Juli 2009

Realitas Kehidupan Perempuan Masa Kini


Oleh ; Siti Khotimah

Ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi. Tiga kata inilah yang mungkin mewakili kasus menyedihkan yang menimpa Rahayu, pekerja rumah tangga di Singapura asal Banyumas. Rahayu hanyalah salah satu dari ribuan, bahkan ratusan ribu perempuan pekerja/buruh yang bekerja di luar negeri (Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, dan lain-lain). Betapa kejamnya perlakuan yang ditimpakan kepada Rahayu. Ancaman pembunuhan, pemerasan, makian, direndahkan martabatnya, gaji tak dibayar, dan sebagainya. Rahayu adalah seorang perempuan dan dari keluarga miskin. Alasan karena perempuan, miskin, dan lemah inilah yang seringkali dijadikan dalih penindasan.
Perempuan-perempuan lainnya juga mendapatkan pengalaman yang tidak kalah pedih. Data-data yang keluarkan oleh sejumlah lembaga berikut menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre di Jakarta dalam rentang waktu 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Parahnya lagi, dari sekian kasus yang diadukan, 69% lebih pelakunya adalah suami korban. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, berdasarkan data yang dikeluarkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, selama tahun 1999-2000 telah menerima pengaduan 994 kasus kekerasan terhadap istri. (Jurnal Perempuan, No. 26, tahun 2002, hal. 9). Para perempuan korban kekerasan yang ditangani oleh LBH APIK Jakarta dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan; tahun 2000, 343 kasus ditangani, tahun 2001 sebanyak 471 kasus, 2002 sebanyak 530, 2003 sebanyak 627, 2004 sebanyak 817, dan tahun 2005 sebanyak 1046 kasus. (LBH APIK Jakarta, Catatan Awal Tahun 2006, hal. 3).
Di wilayah Jember Jawa Timur, pemandangan kekerasan terhadap perempuan juga sangat marak. GPP (Gerakan Peduli Perempuan) Jember mengeluarkan data tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya sebanyak 55 dalam rentang waktu antara Mei 2005 – Maret 2006. Umur korban berusia antara 4–30 tahun dengan pelaku yang umurnya juga bervariasi dari 12–72 tahun. Kondisi korban juga bervariasi, ada yang dicabuli, dianiaya secara fisik, diperkosa dengan kekerasan, hingga yang batok kepalanya terkelupas, serta yang vaginanya luka memar. Data-data tersebut baru yang dihimpun dari berita koran Radar Jember dan Harian Surya (GPP Jember, 2006).
Belum lagi, pengalaman pahit yang dialami oleh ibu-ibu melahirkan. Ancaman Kematian Ibu saat mengandung atau melahirkan sangatlah tinggi. Jumlah AKI di Indonesia mencapai angka yang fantastis dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Menurut data Depkes 2000 dan 2002, AKI di Indonesia tahun 1995 sebanyak 375 per 100.000 kelahiran dan di tahun 2001 meningkat menjadi 396 per 100.000. Yang mengherankan, AKI di Indonesia 66 kali dibanding Singapura, 10 kali AKI Malaysia, 10 kali Iran, 9 kali AKI Thailand, 5,3 Tunisia, 2,9 kali Turki, dan 2,3 kali AKI Filipina. (Yayasan Kesehatan Perempuan, Fact Sheet, Nov. 2003). Kematian ini disebabkan oleh penyebab klasik, perdarahan, keracunan kehamilan, dan infeksi. Penyebab itu bisa dicegah, jika dilakukan pemeriksaan kehamilan yang rutin dan memadai. Di sini peran negara sangat berpengaruh. Negara berkewajiban memperbaiki sistem kesehatan dan kesejahteraan sosial, karena kesehatan adalah bagian penting dari hak hidup layak.
Di sisi lain, masih banyak anak-anak perempuan yang mengalami ketidakadilan berupa kawin paksa dan atau kawin dini. Di Jawa Barat (tahun 2004), misalnya, angka perkawinan muda (dini) sebanyak 62,4% dari total perkawinan di sana. Dari data tersebut, 35,9% di antaranya berusia di bawah 15 tahun. Selebihnya, 26,5% berusia 16 tahun ke atas (Jurnal Perempuan, no. 36, th. 2004, hal. 51). Menurut keluarga mereka, perkawinan usia dini ini dijadikan sebagai strategi untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Dengan menikah, diharapkan ada jalan keluar secara ekonomi. Sayangnya, seperti kata pepatah, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Kemiskinan tetap melilit ditambah permasalahan lainnya yang lebih parah. Banyak rumah tangga muda tadi yang kemudian tidak bisa bertahan, akhirnya berantakan dengan meninggalkan anak-anak kecil, miskin, dan tak terurus.
Di sisi lain, banyak pula anak-anak perempuan, karena terutama keterbatasan ekonomi, mengalami pembatasan dalam sekolah. Anak perempuan dilarang meneruskan sekolah lebih tinggi karena dianggap tidak bermanfaat, buang-buang duit, atau karena hendak dikawinkan. Dalam pandangan kelompok ini anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, kan pada akhirnya harus kembali ke rumah menjadi ibu rumah tangga yang berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur (atau sering diistilahkan masak, macak, manak). Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa 82,01% perempuan Indonesia berumur di atas 10 tahun hanya berpendidikan SD. (Jurnal Perempuan, 36, tahun 2004, hal. 52).
Ini menunjukkan ada diskriminasi yang kuat terhadap perempuan, sehingga aksesnya terhadap pendidikan menjadi terbatas atau dibatasi. Tentu ini berdampak pada kualitas SDM perempuan di negeri ini. Anehnya, jika ekonomi keluarga sedang sulit atau pas-pasan, perempuan dipaksa oleh keadaan bekerja dengan kualitas ala kadarnya, karena pendidikannya terbatas. SDM perempuan Indonesia harus bersaing dengan SDM asing yang berpendidikan tinggi dan berketerampilan hebat. Akhirnya, daya tawar mereka menjadi rendah, kemudian mereka ditindas dan diperas, di negeri sendiri maupun di negeri orang. Bagaimana perempuan akan bangkit dan maju, jika pendidikan tidak diperjuangkan bagi mereka. Padahal banyak anak didik perempuan yang ketika di sekolah atau kampus kualitasnya sangat baik, bahkan rata-rata sepuluh terbaik peserta didik di banyak sekolah/kampus diraih justru oleh perempuan. Mengapa potensi hebat para pelajar perempuan ini justru dipasung dengan berbagai dalih, budaya atau juga agama?
Realitas ketidakadilan di atas masih bisa diperpanjang lagi deretannya, terutama dari daerah-daerah konflik yang juga menyisakan perempuan sebagai korban. Berapa banyak perempuan yang menjadi korban konflik di Aceh, di Ambon, di Timor-Timur (dulu). Biasanya, perempuan di daerah konflik, pengalamannya lebih tragis.
Dari semua data yang ada disadari bahwa data yang terhimpun hanyalah secuil dari kejadian yang sebenarnya, persis seperti gunung es yang hanya permukaannya saja yang terlihat. Di bawah permukaan tentu jumlahnya lebih besar lagi. Begitu juga jumlah perempuan korban kekerasan yang tidak dilaporkan atau tidak terekspos jumlahnya tentu lebih besar lagi.
Zaman sudah berubah. Modernisasi di segala bidang dan globalisasi yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, menyerbu ke segenap penjuru dunia hingga ke pelosok desa. Desa semakin berubah menjadi kota. Kota kecil menjadi kota besar, bahkan menjadi kota metropolitan yang bermandikan cahaya lampu di malam hari. Ironisnya, yang tidak berubah hanyalah penindasan, pemerasan, serta penjajahan manusia atas manusia lainnya, walaupun dengan wajah yang berbeda. Mungkin ini yang disebut oleh Thomas Hobes sebagai homo homini lupus, manusia menganggap manusia lainnya sebagai serigala yang saling menerkam. Tentu manusia yang merasa kuat akan menerkam manusia yang dianggap lemah. Budaya dan struktur patriarki direpresentasi bukan kepada laki-laki sebagai person, tetapi telah menjadi sistem dan struktur yang menindas perempuan. Kasus-kasus yang menimpa pekerja rumah tangga, buruh pabrik, dan masih banyak lagi merupakan contoh yang sangat jelas.
Realitas ketidakadilan yang dialami oleh banyak perempuan tersebut apakah tetap akan terjadi dan dilestarikan serta diwariskan dari zaman ke zaman, walaupun Nabi Muhammad SAW telah membebaskannya sejak 15 abad lalu melalui misi kenabiannya sebagai rahmat bagi alam semesta. Begitu pula Kartini dan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang telah menyuarakannya sejak 100 tahun lalu melalui tulisan-tulisan dan kerja kemanusiaan mereka. Inilah pertanyaan mendasar yang seharusnya menggugat nurani kita semua.

Wallahul Muwafioq ila aqmit thariq

Minggu, 05 Juli 2009

Pengembangan Organisasi PMII



Pendahuluan
Tulisan ini diambil dari buku seri pedoman Manajemen, oleh Penerbit Gramedia. Tulisan ini adalah salah satu contoh cara pengembangan organisasi atau Organization Development (OD). Ada beberapa faktor yang bisa diambil pelajaran, dan bisa kita mulai terapkan di PMII khususnya dalam upaya mengembangkan keorganisasian cabang, komisariat bahkan rayon. Materi ini merupakan pengantar secara umum yang masih memerlukan analisa terapan lebih lanjut, sehingga akan diperoleh model pengembangan organisasi cabang secara ideal..

Pengembangan Organisasi 
Pengembangan organisasi dalam ilmu managemen lebih dikenal dengan organization development (OD) .Pengertian pokok OD adalah perubahan yang terencana (planned change). Perubahan , dalam bentuk pembaruan organisasi dan modernisasi, terus menerus terjadi dan mempunya pengaruh yang sangat dominan dalam masyarakat kini. Organisasi beserta warganya, yang membentuk masyakat modern , mau tidak mau harus beradaptasi terhadap arus perubahan ini. Perubahan perubahan yang terjadi pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat katagori , yaitu perkembangan teknologi, perkembangan produk, ledakan ilmu pengetahuan dan jasa yang mengakibatkan makin singkatnya daur hidup produk, serta perubahan sosial yang mempengaruhi perilaku, gaya hidup, nilai-nilai dan harapan tiap orang.
Untuk dapat bertahan , organisasi harus mampu mengarahkan warganya agar dapat beradaptasi dengan baik dan bahkan agar mampu memanfaatkan dampak positif dari berbagai pembaruan tersebut dengan pengembangan diri dan pengembangan organisasi. Proses mengarahkan warga organisasi dalam mengembangkan diri menghadapi perubahan inilah yang dikenal luas sebagai proses organization development (OD).
Karena menyangkut perubahan sikap, persepsi, perilaku dan harapan semua anggota organisasi, OD di definisikan sebagai upaya pimpinan yang terencana dalam meningkatkan efektivitas organisasi, dengan menggunakan cara intervensi (oleh pihak ketiga) yang didasarkan pada pendekatan perilaku manusia. Dengan kata lain penerapan OD dalam organisasi dilakukan dengan bantuan konsultan ahli, sistemis ,harus didukung oleh pimpinan serta luas aplikasinya.

Teori dan praktik OD didasarkan pada beberapa asumsi penting yakni :
• Manusia sebagai individu, Dua asumsi penting yang mendasari OD adalah bahwa manusia memiliki hasrat berkembang dan kebanyakan orang tidak hanya berpotensi , dan berkeinginan untuk berkontribusi sebanyak mungkin pada organisasi. OD bertujuan untuk menghilangkan faktor faktor dalam organisasi yang menghambat perkembangan dan menghalangi orang untuk berkontribusi demi tercapainya sasaran organisasi.
• Manusia sebagai anggota dan pemimpin kelompok. Organisasi yang menerapkan OD harus berasumsi bahwa setiap orang dapat diterima dan diakui perannya oleh kelompok kerjanya. Dalam organisasi perlu ditumbuhkan keterbukaan agar para anggotanya dapat dengan leluasa mengungkapkan perasaannya dan pikirannya. Dalam keterbukaan , orang akan mendapatkan kepuasaan kerja yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian performansi kelompok akan lebih efektif.
• Manusi sebagai wadah organisasi. Hubungan antar kelompok – kelompok dalam organisasi menentukan efektivitas masing masing kelompok tersebut. Misalnya bila komunikasi antar-kelompok hanya terjadi pada tingkat manajernya , koordinasi dan kerjasama akan kurang efektif daripada bila segenap anggota kelompok terlibat dalam interaksi.

Sasaran OD
Atas dasar asumsi asumsi diatas, proses pengembangan organisasi diterapkan dengan sasaran :
1. Hubungan yang lebih efektif antara departemen , divisi dan kelompok kelompok kerja dalam PMII
2. Hubungan pribadi yang lebih efektif antara Pemimpin dan anggota pada semaua jenjang organisasi
3. Terhapusnya hambatan hambatan komunikasi antara pribadi dan kelompok
4. Berkembangnya iklim yang ditandai dengan saling percaya, dan keterbukaan yang dapat memotivasi serta menantang anggota organisasi untuk lebih berprestasi

Tahap tahap Penerapan OD
Dalam menerapkan OD , organisasi memerlukan konsultan yang ahli dalam bidang perilaku dan pengembangan organisasi. Konsultan tersebut bersifat sebagai agen pembaruan (agent of change), dan fungsi utamanya adalah membantu warga organisasi menghadapi perubahan, melalui teknik teknik OD yang sesuai dengan kebutuhan organisasi tersebut. Proses penerapan OD dilakukan dalam empat tahap :
I. Tahap pengamatan sistem manajemen atau tahap pengumpulan data. Dalam tahap ini konsultan mengamati sistem dan prosedur yang berlaku di organisasi termasuk elemen elemen di dalamnya seperti struktur, manusianya, peralatan, bahan bahan yang digunakan dan bahkan situasi keuangannya. Data utama yang diperlukan adalah :
1. Fungsi utama tiap unit organisasi
2. Peran masing masing unit dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi
3. Proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan tindakan dalam masing masing unit
4. Kekuatan dalam organisasi yang mempengaruhi perilaku antar – kelompok dan antar individu dalam organisasi

II. Tahap diagnosis dan umpan balik. Dalam tahap ini kualitas pengorganisasian serta kegiatan operasional masing masing elemen dalam organisasi dianalisis dan dievaluasi . Ada beberapa kriteria yang umum digunakan dalam mengevaluasi kualitas elemen elemen tersebut, diantaranya :
1. Kemampuan beradaptasi, yaitu kemampuan mengarahkan kegiatan dan tenaga dalam memecahkan masalah yang dihadapi
2. Tanggung jawab : kesesuaian antara tujuan individu dan tujuan organisasi
3. Identitas : kejelasan misi dan peran masing masing unit
4. Komunikasi ; kelancaran arus data dan informasi antar-unit dalam organisasi
5. Integrasi ; hubungan baik dan efektif antar-pribadi dan antar-kelompok, terutama dalam mengatasi konflik dan krisis
6. Pertumbuhan ; iklim yang sehat dan positif, yang mengutamakan eksperimen dan pembaruan , serta yang selalu menganggap pengembangan sebagai sasaran utama

III. Tahap pembaruan dalam organisasi. Dalam tahap ini dirancang pengembangan organisasi dan dirumuskan strategi memperkenalkan perubahan atau pembaruan. Strategi ini bertujuan meningkatkan efektivitas organisasi dengan cara mengoreksi kekurangan serta kelemahan yang dijumpai dalam proses diagnostik dan umpan balik. Mengingat bahwa setiap perubahan yang diperkenalkan akan mempengaruhi seluruh sistem dalam organisasi, bahkan mungkin akan mengubah sistem distribusi wewenang dan struktur organisasi, rancangan strategi pembaruan harus didiskusikan secara matang dan mendapat dukungan penuh pimpinan puncak.

IV. Tahap implementasi pembaruan. Tahap akhir dalam penerapan OD adalah pelaksanaan rencana pembaruan yang telah digariskan dan disetujui. Dalam tahap ini konsultan bekerja secaa penuh dengan staf manajemen dan para penyelia. Kegiatan implementasi perubahan meliputi :
1. perubahan struktur
2. perubahan proses dan prosedur
3. penjabaran kembali secara jelas tujuan sera sasaran organisasi
4. penjelasan tentang peranan dan mis masing masing unut dan anggota dalam organisasi

Teknik teknik OD
Ada berbagai teknik yang dirancang para ahli, dengan tujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi serta bekerja secara efektif, antar-individu maupun antar-kelompok dalam organisasi. Beberapa teknik yang sering digunakan berikut ini.
I. Sensitivity training, merupakan teknik OD yang pertama diperkenalkan dan ayang dahulu paling sering digunakan. Teknik ini sering disebut juga T-group. Dalam kelompok kelomok T (singkatan training) yang masing masing terdiri atas 6 – 10 peserta, pemimpin kelompok (terlatih) membimbing peserta meningkatkan kepekaan (sensitivity) terhadap orang lain, serta ketrampilan dalam hubunga antar-pribadi.

II. Team Building, adalah pendekatan yang bertujuan memperdalam efektivitas serta kepuasaan tiap individu dalam kelompok kerjanya atau tim. Teknik team building sangat membantu meningkatkan kerjasama dalam tim yang menangani proyek dan organisasinya bersifat matriks.

III. Survey feedback. Dalam teknik sruvey feedback. Tiap peserta diminta menjawab kuesioner yang dimaksud untuk mengukur persepsi serta sikap mereka (misalnya persepsi tentang kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan mereka). Hasil surveini diumpan balikkan pada setiap peserta, termasuk pada para penyelia dan manajer yang terlibat. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan kuliah atau lokakarya yang mengevaluasi hasil keseluruhan dan mengusulkan perbaikan perbaikan konstruktif.

IV. Transcational Analysis (TA). TA berkonsentrasi pada gaya komunikasi antar-individu. TA mengajarkan cara menyampaikan pesan yang jelas dan bertanggung jawab, serta cara menjawab yang wajar dan menyenangkan. TA dimaksudkan untuk mengurangi kebiasaan komunikasi yang buruk dan menyesatkan.

V. Intergroup activities. Fokus dalam teknik intergroup activities adalah peningkatan hubungan baik antar-kelompok.Ketergantungan antar kelompok , yang membentuk kesatuan organisasi, menimbulkan banyak masalah dalam koordinasi. Intergroup activities dirancang untuk meningkatkan kerjasama atau memecahkan konflik yang mungkin timbul akibat saling ketergantungan tersebut.

VI. Proses Consultation. Dalam Process consultation, konsultan OD mengamati komunikasi , pola pengambilan keputusan , gaya kepemimpinan, metode kerjasama, dan pemecahan konflik dalam tiap unit organisasi. Konsultan kemudian memberikan umpan balik pada semua pihak yang terlibat tentang proses yang telah diamatinya , serta menganjurkan tindakan koreksi.

VII. Grip OD. Pendekatan grip pada pengembangan organisasi di dasarkan pada konsep managerial grip yang diperkenalkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton. Konsep ini mengevaluasi gaya kepemimpinan mereka yang kurang efektif menjadi gaya kepemimpinan yang ideal, yang berorientasi maksimum pada aspek manusia maupun aspek produksi (kinerja).

VIII. Third-party peacemaking. Dalam menerapkan teknik ini, konsultan OD berperan sebagai pihak ketiga yang memanfaatkan berbagai cara menengahi sengketa, serta berbagai teknik negosiasi untuk memecahkan persoalan atau konflik antar-individu dan kelompok.


Jumat, 26 Juni 2009

Sekilas Tentang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia



Oleh; Sahlah

Organisasi sebagai bagian dari bangsa Indonesia mengakui adanya ideologi dan falsafah hidup bangsa yang terumuskan dalam pancasila. Sebagai organisasi yang menganut nilai ke-Islaman, yang senantiasa menjadikan Islam sebagai panduan dan sekaligus menyebarkan dan mengejawantahkan kedalam pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Bahwa nilai ke-Indonesiaan dan ke-Islaman merupakan paduan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari Indonesia, maka kewajiban bagi setiap orang adalah mempertahankannya dengan segala tekad dan kemampuan, baik secara pribadi maupun bersama-sama.
Sebagai organisasi yang mengemban misi perubahan dan intelektual, Mahasiswa Islam wajib bertanggung jawab membebaskan bangsa Indonesia dari keterbelakangan dan keterpurukan kepada kemajuan, kemakmuran dan keadilan. Kewajiban dan tanggung jawab ke-Islaman, ke-Indonesiaan dan Intelektual, menginspirasikan terbentuknya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sebagai Organisasi Mahasiswa Islam yang berhaluan Ahlussunah Wal Jamaah.

Sekilai Nilai dalam PMII
 Ke-Islaman adalah nilai-nilai Islam Ahlussunah Wal Jamaah.
 Kemahasiswaan adalah sifat-sifat yang dimiliki mahasiswa, yaitu idealisme, perubahan, komitmen, keperdulian sosial dan kecintaan kepada hal-hal yang bersifat positif.
 Kebangsaan adalah nilai-nilai yang bersumber dari kultur, filosofi, sosiologi dan yuridis bangsa Indonesia.
 Kemasyarakatan adalah bersifat include dan menyatu dengan masyarakat dengan masyarakat. Bergerak dari dan untuk masyarakat.
 Independen adalah berdiri secara mandiri, tidak bergantung kepada pihak lain, baik secara perorangan maupun kelompok.
 Profesional adalah distrubusi tugas dan wewenang sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan keilmuan masing-masing.

Pribadi ulul albab adalah seseorang yang selalu haus akan ilmu, dengan senantiasa berdzikir kepada Allah, berkesadaran historis-primordial atas relasi Tuhan-manusia-alam, berjiwa optimis transendental sebagai kemampuan untuk mengatasi masalah kehidupan, berpikir dialektis, bersikap kritis dan bertindak transformatif.
Adapun tugas dari seorang kader, antara lain :
 Melakukan dan meningkatkan amar ma’ruf nahi munkar.
 Mempertinggi mutu ilmu pengetahuan Islam dan IPTEK.
 Meningkatkan kualitas kehidupan umat manusia dan umat Islam melalui kontekstualisasi pemikiran, pemahaman dan pengalaman ajaran agama Islam sesuai dengan perekembangan budaya masyarakat.
 Meningkatkan usaha-usaha dan kerjasama untuk kesejahteraan umat manusia, umat Islam dan mahasiswa serta usaha sosial kemasyarakatan.
 Mempererat hubungan dengan ulama dan umara demi terciptanya ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah..
 Memupuk dan meningkatkan semangat nasionalisme melalui upaya pemahaman, dan pengamalan pancasila secara kreatif dan bertanggung jawab.

Keanggotaan
1. Anggota biasa adalah :

o Mahasiswa Islam yang tercatat sebagai mahasiswa pada suatu perguruan tinggi dan atau yang sederajat.
o Mahasiswa Islam yang telah menyelesaikan program studi pada perguruan tinggi dan atau yang sederajat atau telah mencapai gelar kesarjanaan S1, S2, atau S3 tetapi belum melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun.
o Anggota yang belum melampaui usia 35 tahun.

2. Kader adalah :
o Telah dinyatakan berhasil menyelesaikan Pelatihan Kader Dasar (PKD) dan follow up-nya.
o Sebagai mana pada ayat (2) poin (a) baik yang menjadi pengurus Rayon dan seterusnya maupun yang telah menggeluti kajian-kajian, aktif melakukan advokasi di masyarakat maupun telah memasuki wilayah professional.

Penerimaan anggota dilakukan dengan cara :
o Calon anggota mengajukan permintaan secara tertulis atau mengisi formulir untuk menjadi calon anggota PMII kepada Pengurus Cabang.
o Seseorang syah menjadi anggota PMII setelah mengikuti Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) dan mengucapkan bai’at persetujuan dalam suatu upacara pelantikan.
o Dalam hal-hal yang sangat diperlukan, Pengurus Cabang dapat mengambil kebijaksanaan lain yang jiwanya tidak menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2) tersebut diatas.
o Apabila syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 dan 2 di atas dipenuhi kepada anggota tersebut diberikan tanda anggota oleh Pengurus Cabang.

Keanggotaan berakhir masa keanggotaan, apabila :
o Meninggal dunia.
o Atas permintaan sendiri secara tertulis yang disampaikan kepada Pengurus Cabang.
o Diberhentikan sebagai anggota, baik secara terhormat maupun secara tidak terhormat.
o Telah habis masa keanggotaan sebagai anggota biasa sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 1 ART ini.

Bentuk dan tata cara pemberhentian diatur dalam ketentuan tersendiri.
o Anggota yang telah habis masa keanggotaannya pada saat masih menjabat sebagai pengurus dapat diperpanjang masa keanggotaannya hingga berakhirnya masa kepengurusan.
o Anggota yang telah habis masa keanggotaannya disebut “Alumni PMII”.
o Hubungan PMII dan Alumni PMII adalah hubungan histories, kekeluargaan, kesetaraan dan kualitatif.

Hak & Kewajiban Anggota

 Hak Anggota : Anggota berhak atas pendidikan, kebebasan berpendapat, perlindungan, dan pembelaan serta pengampunan (rehabilitasi).
 Kewajiban Anggota, antara lain :
a) Membayar uang pangkal dan iuran pada setiap bulan yang besarnya ditentukan oleh Pengurus Cabang.
b) Mematuhi AD/ART, NDP, Paradigma Gerakan serta produk hukum organisasi lainnya.
c) Menjunjung tinggi dan mempertahankan nama baik agama Islam, Negara dan organisasi.

Hak Kader :
• Berhak memilih dan dipilih.
• Berhak mendapat pendidikan, kebebasan berpendapat, perlindungan, dan pembelaan serta pengampunan (rehabilitasi).
• Berhak mengeluarkan pendapat, mengajukan usul-usul dan pertanyaan-pertanyaan secara lisan maupun secara tulisan.

Kewajiban Kader :
 Melakukan dinamisasi organisasi dan masyarakat melalui gerakan pemikiran dan rekayasa sosial secara sehat mulia.
 Membayar uang pangkal dan iuran pada setiap bulan yang besarnya ditentukan oleh Pengurus Cabang.
 Mematuhi dan menjalankan AD/ART, NDP, Paradigma Gerakan dan produk hukum organisasi lainnya.
 Menjunjung tinggi dan mempertahankan nama baik agama Islam, negara dan organisasi.

Sumber :
1. Anggaran Dasar PMII
2. Bunga Rampai PB. PMII



Selasa, 23 Juni 2009

PMII: Strategi Pengkaderan Dan Paradigma Gerakan


Oleh ; Abd. Qodir

Sebagai organisasi gerakan dan pengkaderan, PMII harus tetap mempunyai komitmen untuk bisa survive dalam semua kondisi, situasi dan segala bentuk perubahan tatat aturan amain baik di Indonesia (nasional) maupun internasional. Hal ini menjadi logis, karena PMII didirikan buka untuk bertahan dalam kurun waktu selama 1,2, ….10 tahun, tetapi PMII ada untuk untuk tetap memperjuangkan social mandatory dan amanat sebagai mana termaktub sebagaimana termaktub dalam nilai dasar pergerakan dan visi-mis organisasi. Untuk itu kemampuan dan analisa PMII sebagai organisasi untuk melihat segala fenomena dan bentuk perubahan perilaku baik individu, Negara masyarakat dan dunia menjadi mutlak keberadaannya.

A. Mencari Modal Gerakan.
1. Tatapan Internasional
a. Keberadaan Indonesia tidak lepas dari pergerakan diluar apalagi dalam trend dunia yang mengglobal. Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang tidak biusa dihindari, globalisasi akan menciptakan pasar perekoneomian dunia menjadi menyatu (borderless market) tak hanya pada sector ekonomi, social budaya pun mengalami hal yang serupa (borderless society). Globalisasi telah menciptakan idealisasi global yang mengakibatkan transedensi dari nilai-nilai etatosentris. Nilai-nilai baru tersebut mengatasi keterlibatan dengan nilai-nilai berbangsa menuju nilai-nilai yang berlaku universal. Hal ini berarti akan terjadi pergeseran atau perubahan penghayatan nilai-nilai yang mengakibatkan adanya suatu goncangan budaya (cultural shock).
Menurut konsepnya Ernest Renan, bangsa merupakan suatu kelompok manusia yang mempunyai kehendak atau tekad untuk tetap hidup bersama (le desire de vivre ensamble)yang mempunyai suatu rasa senasib dalam masa lampau terutama didalam penderitaan bersama.
Bangsa Indonesia adalah sebuah lokus yang didalamnya terdapat kekayaan tradisi, sisitem nilai, cita-cita luhur kemanusiaan, moralitas keagamaan, dan naluri social untuk membentuk sebuah Negara bangsa (nation state) yang didalamnya kita semua bisa tumbuh dan tinggal secara nyaman dan beradab. Pertumbuhan inilah yang secara social-antropologis kita sepakati sebagai ‘’kontrak sosial’ dan ‘komitmen politik’ untuk bersama-sama membangun, menjaga dan memiliki ‘rumah Indonesia’yang harus menjaga etika bertetangga dengan rumah bangsa dan negara lain.
b. Konsolidasi politik negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperialisme lama. Konsolidasi tersebut menghasilkan adanya pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral, dan regulasi internasional dan pembentukan-pembentukan institusi politik global, seperti PBB, EEC (Economic Europe Comunity), Uni Eropa, NAFTA etc.
Institusi politik internasional inilah akan menciptakan role of the game atau aturan main percaturan politik global berskal internasionalkhusunya yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian. Perkembangan politik internasional tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan memunculkan rezim internasional yang mempunyaio pengaruh cukup signifikan dan memiliki otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang lain.
c. Posisi Indonesia yang merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar dari proses internasionalisasi politik tersebut, apalagi dengan kondisi geografisiIndonesia yang sanagat strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi bagian kecil dalam pentas dunia. Pemerintah Indonesia dan negara-negara ketiga lainnyaakan semakin kehilangan kontrol atas atas arus informasi, teknologi penyakit, migrasi, senjata, dan tarnsaksi finansial baik legal maupun maupun ilegal yang melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non negara , mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas pemerintahan nasional dan internasional akan ditentukan oleh tingkat keberhasilan negara dan masyarakat dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global diatas.
d. Oleh Karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam gamabar dan ruang yang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia sebagai bagaian dari sebuah sisitem dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali relasi apa yangs edang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasinyakita dapat melihat pola-pola yang digunakan oleh sisitem tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sisitem dunia ini, lalu bagaimana kita menhubungka perubahan-perubahan internal Indonesia dengan sisitem dunia ini? Jawaban ada pada diri kader Pergerakan.

B. Stretegi dan Taktik Kaderisasi
Sebuah gerakan yang rapi dan masif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah perbutan. Tanpa menggunakan logika ini maka gerakan akan selalau terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyhuran dan kebanggan diri semata.
1. Realitas Pengakderan PMII
a. Sistem Rekruitmen
- Pertimbangan Emosional (Persahabatan)
- Pertimbangan Ideologis (karena sama-sama NU)
- Pertimbangan Rasional
- Pertimbangan Pragmatis
b. Sistem Pengakderan
- Terjebak pada rutinitas pengkaderan formal
- Lemahnya infrastruktur pengkaderan (materi, hand out, Fasilitator etc)
- tidak adanya materi pengkadetran yang berbasis akademik/fakultatif
- Kentalnya Hegemoni senior (baca : alumni)
- Terabaikannya kader dari kampus umum atau eksakta
c. Medan Distribusi
- Alumni hanya berkumpul pada satu bidang saja (Parpol, LSM, wartawan)
- Ketidak mampuan merebut atau menciptakan ruang baru untuk pendistribusian kader

2. Tawaran Solusi
Dengan realitas pengkaderan tersebut maka diperlukan antara lain :
1. Selektifitas pola rekrutmen kader
2. Pengadaan Materi pengkaderan yang layak dan fakultatif
3. 30 % kurikulum pengakderan berisi muatan lokal
4. Adanya pelatihan instruktur atau fasilitator pelatihan secara berkala
5. Sistem Pengkaderan di PMII harus mempertimbangkan basic keilmuan kader
6. Membangun komunikasi yang startegis dan non hegemonik dengan alumni
7. Merebut serta berusaha untuk mencitpakan medan distribusi bagi kader-kader PMII di dunia profesional.
Berikut ini skema proses kaderisasi yang harus terjadi di PMII. Sekema di bawah ini tidak boleh ada keterputusan anatar suatu proses dengan proses yang lainnya, karena antara astu dengan yang lainnya saling terkait, dan proses tersebut akan berjalan terus menerus. Skema ini paling tidak memebrikan sedikit gambaran kita bahwa sisitem pengakaderan PMII jangan hanya terfokus pada sisi internal saja, artinya, mencetak kader sebanyak-banyaknya tetapi tidak tahu mau didistribusikan kemana kader-kader tersebut. Untuk itu sudah saatnya kita berfikir realistis, bahwa tanggung jawab PMII secara oragnisasional juga terletak pada sisi pendistribusian kader pada medan-medan distribusi.
Skema Stratak pengakaderan PMII

C. Paradigma/ Cara Pandang Gerakan
Sebagai organisasi gerakan, PMII harus tetap menujukkan sifat kohesinya terhadap segala bentuk ketidak adilan,. Untuk itu diperlukan adanay cara pandang organisasi terhadap segala bentuk ketidakadilandan segala bentuk perubahan perilaku individu, masyarakat, negara dan dunia. Membangun paradigma gerakan memang sesulitr membaca kenyataan yang semstinya menjadai pijakan paradigma itu. Paradigma yang baik adalah paradigma yang yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini.
Dengan selalu berangkat dari kenyataan riil, kita akan mampu menagkap struktur apa yang sat ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free wheel) peradaban yang hegemonik. Selama ini nalar mainstream yang digunakan dalam penyusunan paradigma PMII adalah nalar yang berangkat dari asumsi yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal daripada kenayataan.
Pertanyaanya kemudian, apakah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) masih relevan untuk menatap realitas perubahan saat ini?. Jawabnya masih relevan, hanya problemnya terletak pada cara pandang dalam menatap sebuah realitas kekinian saja. Namun perdebatan tentang layak tidaknya PKT tersebut dirubah atau tidak forum Muspimnas bukanlah m,erupakan forum yang legitimate untuk merubah PKT tersebut dan hanya forum kongres lah yang legitimate untuk merubah paradigma PKT tersebut.
Namaun beberapa catatan yang harus diingat tentang paradigma itu anatara lain :
1. Paradigma tidak boleh resisten terhadap segala bentuk gejala dan perubahan siklus dan perilaku individu, masyarakat, negara dan dunia. Jika PMII tidak ingin tergilas oleh roda gila yang sedang berjalan, yaitu globalisasai.
2. Paradigma harus disertai dengan contigency plan yang dapat menyelamatkan organisasi dalam situasi apapun.
3. Paradigma yang didorong oleh startegi, sehingga pardigma tidak dianggap suatu yang baku.

Membangun Formulasi Ideologi PMII yang Inklusif


Oleh ; Moh. Asnawi

A. Muqaddimah
Mungkin Ibnu Majah tidak akan menyangka jika salah satu hadits yang dia bukukan akan menjadi polemik yang berkepanjangan di kalangan pemikir Islam . Sebuah hadits yang sampai saat ini sering digunakan sebagai klaim kebenaran aliran Islam tentang keberadaan satu-satunya golongan dalam agama Islam yang selamat yaitu Ma ana ‘alaihi Wa ash-haabih yang kemudian diidentikkan dengan istilah ahlussunnah wal Jamaah, terlepas kontrofersi akan keshohihan hadits tersebut. Yang jelas istilah Aswaja (ahlussunnah Wal Jamaah) yang dilahirkan dari rahim hadits tersebut pada perkembangan sejarah selanjutnya telah merambah pada wilayah ‘Ilmu Kalam terus masuk pada wilayah Madzhab dan bahkan kini telah dijustifikasi atau mungkin dipaksakan untuk menjadi sebuah ideology.
Ahlussunnah Wal Jamaah (bukan ahlus sun wal Jima’) yang lahir dan berproses dalam sejarah , saat ini telah menjadi sebuah term yang tidak jelas, sulit didefinisikan dan terkesan mengalami penyempitan makna dan pengingkaran terhadap factor histories. Untuk itu perlu kiranya kita mencoba membedah dan mendudukkan istilah tersebut secara arif dan jujur dalam rangka membangun kembali esensi aswaja untuk bisa dijadikan Manhajul Fikri seperti yang telah dirintis oleh kang Said Aqiel Siradj
Pada tahun 1995 yang sebenarnya sangat tepat untuk dibawa pada sebuah pendekatan ideologi .B. Aswaja, sebuah pendekatan definisi
Ahlussunnah jika dipilah secara Harfiah bisa dibagi menjadi dua istilah yakni ahlussunnah dan Al Jamaah. Ahlussunnah ,dari berbagai definisi yang ada bisa diambil beberapa pengertian sebagai berikut :
1. Golongan yang mewarisi hadits Nabi yang shohih (Duhr Al Islam, Ahmad Amin),
2. Semua yang berasal dari Nabi
3. Pengikut Nabi

Sedang beberapa pendefinisian Al Jamaah yang bisa kami tampilkan disinii antara lain :
1. Mayoritas umat Islam, Jamaah terbesar dan umat terbesar (Sadru syarih Al Mahbubi)
2. Jalan yang di bangun oleh para shahabat Nabi (Imam Zubaidi)
3. Al I’tishan (Syatibi) , al jamaah menyangkut lima pengertian
a. Shohabat
b. Ulama’ Mujtahid
c. Kesepakatan kaum Muslimin
d. Umat Islam dengan satu kepemimpinan
e. Umat Islam Mayoritas

Dari berbagai pendekatan definisi tersebut, dapat diambil pengertian secara tekstual bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah adalah :
Golongan kaum Muslimin yang mengkikuti jejak Rasulullah dan shahabat dalam membangun metode pemahaman, dan menafsirkan nash
Selain itu ada banyak lagi pendefinisian istilah aswaja , misalnya yang di identikkan dengan manhaj salaf, seperti yang dilontarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa , beliau menyatakan bahwa Aswaja adalah manhaj yang mengikuti atsar Rasulullah secara dhahir dan bathin, para khulafaurrasyidin dan meninggalkan segala bid’ah yang bukan dari Rasulullah.
mungkin dua pendefinisian ini cukup representatif sebagai bahan ilustrasi awal dan tidak perlu diperdebatkan lagi berbagai perbedaan yang tidak substansi akan berbagai definisi harfiah maupun istilah yang ada dan berkembang dalam khazanah Islam. Dan untuk berikutnya mari kita lihat sekilas sejarah dan realitas kemunculan dan perkembangan paham Ahlussunnah wal Jamaah demi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih Komprehensif

C. Kontroversi sejarah Aswaja
Kehadiran Muhammad di dunia ini sebagai juru bicara Tuhan terakhir telah melahirkan ‘komunitas’ baru dalam peradaban dunia. Islam yang merupakan agama baru pada saat itu telah membawa banyak perubahan berarti di jazirah Arab baik di ranah tauhid, moral, maupun peradaban budaya. Muhammad yang di satu sisi merupakan pemimpin struktur kemasyarakatan Islam,dan di sisi lain sebagai pemimpin agama , pada saat itu memang sukses membawa Arab pada satu kesatuan politik dan satu kesatuan tauhid, dimana sentral instuksi, problem solving, pemahaman dan pengimplementasian terhadap hukum positiv (Al Quran) yang berlaku di situ berada pada satu tangan ,yaitu Muhammad. Dan konon segala aktifitas, perkataan/ketetapan dan taqrir yang berasal dari beliaupun mempunyai kekuatan sebagai produk hukum Tuhan yang harus diikuti oleh seluruh pengikutnya (As Sunnah).
Namun kemudian berbagai permasalahan timbul dan menghujani kaum Muslimin seiring berputarnya roda sejarah. Sepeninggal Nabi , lebih spesifik lagi setelah terjadi peristiwa besar dalam sejarah Islam ,yakni terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan (innaa lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun) oleh kaum muslimin sendiri, muncul polemik perpolitikan di Madinah sebagai pusat kendali masyarakat (negara) Islam yang hal itu merupakan pemicu awal perpecahan umat, baik perpecahan kekuasaan maupun I’tiqod (keyakinan). Ali Bin Abi Tholib yang merupakan khalifah pengganti terpilih sesuai ijma’ shahabat madinah rupanya belum bisa diterima oleh kubu Muawiyah yang memiliki kekuatan di wilayah Syiria , terlebih setelah berbagai kebijakan Ali yang sangat tidak menguntungkan Muawiyah menjadikan krisis politik dan stabilitas negara mengarah kepada konfrontasi berdarah. Pada masa inilah mulai muncul Alfitnatul Kubra,yaitu sebuah renteten pertikaain dan perselisihan antara umat Islam sendiri dalam kancah peperanagn fisik yang telah menghabiskan banyak korban disatu sisi dan disisi lain mulai mucul polarisasi Tauhid yang diawali ketika terjadi perpecahan kelompok Ali menjadi Khawarij(golongan yang keluar dari Ali) dan syi’ah (golongan yang tetap setia pada Ali) yang disebabkan perbedaan sikap politik terhadap diadakannya perjanjian Daumatu Jandal ditengah berkecamukny Perang Shiffin antara Ali-Muawiyah. Meskipun perpecahan tersebut berawal dari problematika politik namun kemudian perpecahan itu mengarah pada permasalahan I’tiqadi(tauhid). Dari mata rantai awal inilah kemudian terus menerus bermunculan aliran–aliran kalam dalam Tarikh Islam yang memang tidak bisa terlepas dari dimensi politik. Mulai dari paham jabariah-qadariah-mu’tazilah-murjiah sampai pada Asy’ariah wa ‘ala alihi washohbihi ajma’iin. Namun disini mungkin kita tidak perlu mengungkap detail berbagai pemikiran kalam yang menjamur dan njlimet tersebut, tetapi kita mencoba disini untuk mengamati proses kelahiran paham asy’ariah yang pada kemudian hari diidentikkan dengan paham aswaja
Abu Hasan al Asyari (873-935 H) pada awalnya adalah tokoh utama paham Mu’tazilah di Basrah murid dari Al Juba’i. Kompetisi teologi pada saat itu memang sangat menguntungkan bagi kaum mu’tazilah sehingga menempatkan paham itu sebagai ideology Negara. Sedangkan golongan/komunitas ahlu hadits sebagai salah satu unsure penting pembentuk paham aswaja pada saat itu sangat termarginalkan bahkan mengalami tekanan berat oleh penguasa. Sampai pada saat kepemimpinan Daulah Abasyiah berada di tangan Al Mutawakil ,ideology Mu’tazilah mengalami penggusuran dan disatu sisi paham Ahlul Hadits mulai mendapat tempat.
Asy’ari yang kemudian meninggalkan paham mu’tazilah dan membuat sebuah rumusan pemahaman kalam (yang dikenal dengan paham Asy’ariah) dan mendudukkan secara arif mengenai ; salafiah(tekstualis) vs ahlur ra’yu(rasionalis), jabariah(fatalism) vs qadariah (Freewillism). Dia membangun rumusan kalam dan melakukan sintesis terhadap pemahaman mu’tazilah yang sangat menkedepankan akal dan logika dengan paham ahlu hadits (Ahmad bin Hambal dkk) yang cenderung tekstual terhadap pemahaman agama. Hal ini tampak jelas dalam 2 kitab yang dia susun yaitu Al Istihsan yang berisi tentang perlunya penggunaan Ilmu Kalam dan Mantiq (logika/akal) dalam menyentuh ajaran Islam, serta Al lbanah yang tentang keterbatasan akal (rasionaltas) dalam memahami ajaran Islam.
Paham asy’ariah yang berisi berbagai konsep berfikir dan kerangka metodologis kalam dalam membaca ajaran islam baik menyangkut masalah ilahiyah maupun insaniyah tersebut kemudian berkembang pesat dan semakin dibesarkan oleh tokoh-tokoh pemikir Islam di era sesudahnya seperti Al Juwaini, Al Baqillani , dan Imam Ghozali. Bahkan Al Ghozali sebagai salah satu Tokoh utama kaum sunny, lewat Ihya’ Ulumuddin-nya bisa menempatkan tasawwuf secara proporsional ditengah konfrontasi Ilmu tashawuf antara tashawwuf salafi dan falsafati sehingga beliau mendapat gelar hujjattul Islam (sumber rujukan umat Islam), dan hal ini semakin memperkuat posisi Aswaja sebaga paham yang dianut mayoritas umat Islam sampai saat ini.
Sejak itulah Aswaja sebagai sebuah pemahaman komprehensif seolah-olah sudah dikatakan final dalam membangun tauhid Islam bahkan telah termaterialkan segala produk-produk ijtihad baik diwilayah I’tiqod maupun syariat. Namun rupanya sukses kaum sunny dalam mengusung Aswaja sehingga bisa diterima umat Islam tersebut malah membawa dampak pada kemunduran dan penyempitan Aswaja dimana sejarah telah mengawalinya sebagai sebuah metodologi pemahaman menjadi sebuah madzhab yang kaku dan ekslusif. Dan hal ini semakin parah ketika kemudian diiringi dengan bermunculannya berbagai organisasi gerakan Islam yang menempatkan Aswaja sebagai Madzhab yang dibakukan dengan berbagai versi yang berbeda.
Untuk itu perlu kita ungkap kembali sejarah dan kita bongkar bagaimana aswaja lahir dalam khazanah Islam dalam rangka untuk menempatkan aswaja sebagaimana mestinya, bukan merupakan aqwal yang sudah final.

D. Manhajul Fikri dan sebuah kedewasaan terhadap realitas
Sebagai kelanjutan proses ‘dekonstruksi aswaja’ tersebut rupanya perlu bagi PMII untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba mengambil atau menempatkan Aswaja sebagai ‘kacamata pandang’ dalam rangka membaca realiatsas Ketuhanan, realitas manusia dan realitas alam semesta. Namun tidak hanya berhenti sampai disitu , Aswaja sebaga Manhajul Fikri harus bisa menjadi ’cangkul’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut sebagai upaya mengkontekstualisasikan ajaran Islam sehingga benar-benar bisa membawa Islam sebagai rohmatan Lil Alamin, dengan tetap memegang tiga prinsip dasar Aswaja , yaitu :
1. Al’iqtishod/tawasuth .
Moderat,penengah . Selalu tampil dalam upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja.
2. Tawazun
Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan)
3. Tasamuh
Toleransi, sebuah prinsip yang responsip terhadap al urf (budaya) dan segala khazana dunia, yang tidak mengkedepankan simbolistik dalam upaya memasukkan dan membumikan nilai-nila Aswaja kepada umat manusia

Memahami Aswaja Sebagai Manhaj al-Fiqri

I. Definisi dan Historis
ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”. 
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M). 
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H). 
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits) daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat. 

II. Memahami Hadits Firqah
Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di neraka kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat الفرقة الناجية)). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة“) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”. (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat; “ maa ana alaihi wa ashhabi” (( ماأنا عليه وأصحا . baiklah penulis kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:. 

  عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لبأتين على أمتي ما أتى على بني اســــرائيل حذو النعل بالنعل حتى ان كان منهم من بأتي أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذالك , وان بني اســـرائيل تفرقت على ثنتين وســبعين ملة, وتفترق أمتي على ثلاث وســبعين ملة كلهم فى النار الا واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله ؟ قال : " مـــا أنا عليه وأصـــحابي". ( الترمذي و الآجري واللا لكائي وغيرهم. حـــسن بشــواهد كثيرة ) 

Artinya: Dari Abillah Bin ‘Amr berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ Akan datang kepada umatku sebagaimana yang terjadi kepada Bani Israil. Mereka meniru perilakuan seseorang dengan sepadannya, walaupun diantara mereka ada yang menggauli ibunya terang-terangan niscaya akan ada diantara umatku yang melakukan seperti mereka. Sesungguhnya bani Israil berkelompok menjadi 72 golongan. Dan umatku akan berkelompok menjadi 73 golongan, semua di neraka kecuali satu. Sahabat bertanya; siapa mereka itu Rasulullah? Rasulullah menjawab: “ Apa yang ada padaku dan sahabat-sahabatku “ ( HR. At-Tirmidzi, Al-Ajiri, Al-lalkai. Hadits hasan)  

    عن أنس بن مــالك قال : قال رســول الله صــلى الله عليه وســلم : " ان بني اســرائيل افترقت على احدى وســبعين فرقة , وان أمتي ستفترق على ثنــتين وسبعين فرقــة كلها في النار الا واحدة, وهي الجمــاعة " ( ابن ماجه وأحمد واللا لكائي وغيرهم. هذا اســـناد جيد ) 

Artinysa: Dari Anas bin Malik berkata, rasulullah SAW bersabda; “ Sesungguhnya bani Israil akan berkelompok menjadi 71 golongan dan sesungguhnya umatku akan berkelompok menjadi 72 golongan, semua di neraka kecuali 1 yaitu al-jamaah”. ( HR.Ibn Majah, Ahmad, al-lakai dan lain. Hadits sanad baik) 

Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut: 
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah. 
Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah.namun berapa jumlahnya? Bilangan 73 apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?. 
Bermacam-macam firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya, berarti apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana wa alaihi ma alainaa.’ 
Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu mereka yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu. 
الفرقة النـاجية (kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa dan jamaah. tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan 

III. Ahlussunnah Waljamaah versi KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama’ memberikan tashawur (gambaran) tentang ahlussunnah waljamaah sebagaimana ditegaskan dalam al-qanun al-asasi, bahwa faham ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi. 
Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami sebagai berikut: 
1. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari pandangan ta’rif menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa mani’ (جامع مانع) tapi itu merupakan gambaran (تصــور) yang akan lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran dan pemahaman secara jelas ( تصــد يق). Karena secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para ulama berbeda secara redaksional tapi muaranya sama yaitu maa ana alaihi wa ashabii. 
2. Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan implimentasi dari sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi 
3. Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (islam modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-quran dan as-sunnah, dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC. ( tahayyul, bid’ah dan khurafaat). Sehingga dari penjelasan aswaja versi NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan As-sunnah perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu muqallid atau muttabi’ baik mengakui atau tidak.  
   
IV. Kesimpulan  
Dari pemaparan penulis tentang ahlussunnah waljamaah, secara historis, teks hadits dan penjelasan KH. Hasyim Asy’ari, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 
Secara historis, ahlussunnah waljamaah menjadi nama sebuah firqah pada masa pemerintahan abbasiah, akibat dari pergolakan pemikiran antara muktazilah dan kelompok lain. Dalam pandangan ini ahlussunnah waljamaah adalah sebuah “al-manhaj al-fikri”. 
Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar dari din al-islam. 
Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya.
Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja tidak hanya NU. Bias saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya sesuai dengtan konsep ASWAJA. 
Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.

Bahan Pustaka: 
1. Al-fashl fi al-milal wa al-ahwa’ wa an-nihal. Al-Imam Ibn Hazm Ad-dzahiri Al-Andalusi. 
2. Ahlussunnah waljamaah; maalim al-inthilaqah al-kubra. Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry 
3. Al-Qanun Al-Asasi. KH. Hasyim Asy’ari 
4. Ensiklopedi Islam. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

Senin, 22 Juni 2009

Pelantikan & Bedah Buku 2009-2010





Paradigma Kritis Transformatif Versi Pengkaderan PMII[1]


By ; Missionaris [2]

LANDASAN FILOSOFI
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi. Karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan prilaku social. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal,abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.
Proses pengkaderan baik formal maupun non formal memiliki kontribusi penting dalam melegitimasi dan melanggengkan system dan struktur social yang ada. Namun, pengkaderan juga merupakan medan perjuangan dan bagian dari proses untuk menggerakkan perubahan social menuju kontruksi social yang adil. Apakah pengkaderan akan mengabdi pada tatanan yang menindas ataukah justru menjadi medan perjuangan, sangat bergantung pada paradigma pengkaderan yang menjadi kerangka kerjanya. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai paradigma baik yang melegimitasi system maupun yang memiliki fungsi liberisasi, serta implikasinya dalam praksis pengkaderan.
Giroux dan Aronowiz sebagaimana dikutip oleh Mansur Fakih (2001) mengelompokkan ideologi-ideologi pengkaderan ke dalam tiga aliran besar: konservatif, liberal, dan kritis. Secara garis besar perbincangan tentang tiga aliran adalah sebagai berikut :

1. Paradigma Konservatif
Bagi kaum konservatif, terjadinya ketidaksederajatan dalam masyarakat merupakan suatu hal yang alamiah, suatu hal yang mustahil, bisa dihindari, serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan. Perubahan social bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, bahkan perubahan justru akan membuat manusia lebih sengsara lagi. Dalam bentuknya yang klasik, paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan social, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif klasik tidak menganggap rakyat memiliki kekuasaan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perkembangannya, paradigma konservatif cenderung menyalahkan subyek. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang yang miskin, buta huruf, kaum tertindas, dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena, dalam kenyataannya, banyak orang lain bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang yang bersekolah dan belajar atau kursus, dan karenanya dapat hidup dengan layak, dan tidak menjadi kriminal.[3]
Karena kenyataan tersebut, kaum konservatif menyerukan kepada kaum miskin agar sabar dan belajar untuk berperilaku baik, sambil menunggu giliran mereka dating, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan dari konflik dan kontradiksi social.

2. Paradigma Liberal
Kaum liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka, pengkaderan tidak memiliki kaitan apapun dengan persoalan social, politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Dengan asumsi seperti itu, maka tugas pengkaderan pun tidak memiliki keterkaitan dengan persoalan sosial masyarakat.
Namun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pengkaderan dengan keadaan sosial, politik dan ekonomi di luar dunia pengkaderan. Usaha penyesuaian ini dilakukan dengan cara memecah berbagai problem pengkaderan dengan usaha reformasi kosmetik, karikatural. Karena kosmetik, maka umumnya yang dilakukan adalah usaha-usaha seperti pentingnya membangun kelas baru dan fasilitas baru, modernisasi peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih, laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Selain itu juga didorong inventasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif seperti kelonpok dinamik (dynamic group), Berbagai usaha itu pada dasarnya masih terisolir dari sitem dan struktur ketidakadilan social, dari dominasi budaya dan represi social yang ada dalam masyarakat.
Kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pengkaderan asosial dan excellence merupakan target utama pengkaderan. Kaum liberal berpendapat bahwa persoalan pengkaderan dan persoalan sosial merupakan dua persoalan yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pengkaderan dalam struktur sosial dan dominasi politik serta budaya dan deskriminasi gender dalam masyarakat. Bahkan pengkaderan, bagi salah satu aliran liberal, yakni fungsional structural personian, justru dirancang untuk menstabilkan norma dan nilai dlam masyarakat. Pengkaderan justru dimaksudkan sebagai media sosialisasi dan reproduksi nilai tata susila keykinan dan nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.[4]
Pendekatan liberal inilah yang kini mendominasi hampir seluruh pemikiran pengkaderan modern baik formal maupun informal. Jika dilacak dalam sejarah pemikiran, akar filosofi dari aliran ini adalah liberalisme. Yaitu suatu pandangan yang menekankan pengemnbangan kemampuan, melindungi hak dan kebebasan, serta mengindefikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pengkaderan liberal berakar dari cita-cita barat tentang individualisme. Gagasan liberalisme dalam sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pengkaderan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya. Komponen pertama adalah pengauh filsafat barat tentang model manusia universal, yakni model manusia Amerika dan Eropa. Ideal-type dari manusia tersebut adalah rationalis liberal, yang ditandai oleh : Pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tataran alam maupun norma social dapat ditangkap oleh akal . ketiga, individualisti, yakni anggapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonom (Bay, 1988). Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan social sebagai suatu kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya tidak stabil.

3. Paradigma kritis/Radikal
Pengkaderan dalam paradigma kritis dimaknai sebagai bagian dari medan perjuangan. Bila bagi kaum konservatif, pengkaderan mengabdi pada statusquo, kaum liberal untuk perubahan moderat, maka bagi paradigma kritis dirancang perubahan moderat, maka bagi paradigma kritis dirancang untuk melakukan perubahan fundamental dan transformasional bagi konstruksi social masyarakat. Bagi mereka,konstruksi social merefleksikan dalam dunia pengkaderan. Ini yang membedakan dengan liberal dan konservatif.
Dalam perspektif kritis, urusan pengkaderan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap the dominant ideology, menuju transformasi social. Tugas pengkaderan adalah membangun kesadaran kritis dan menciptakan ruang kritis terhadap struktur dan system ketidakadilan, mentransformasikan konstruksi social menuju tatanan berkeadilan. Pengkaderan tidak mungkin bersikap netral, tidak berpihak, obyektif maupun berjarak dengan masyarakat. Dalam paradigma ini, pengkaderan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain, tugas utama pengkaderan adalah “memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil.[5] 

PILIHAN PARADIGMA VERSI PMII
Disamping terdapat banyak penegrtian mengenai paradigma, dalam ilmu social ada beberapa macam jenis paradigma. Melihat realitas dimasyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan Antropologis. Maka PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif sebagai wijakan oraganisasi pergerakan.

EKSISTENSI PKT PMII 
a. Definisi Paradigma
Dalam khazanah ilmu social, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tantang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Mengingat banyaknya definisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII, hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.[6]

b. Substansi PKT PMII
Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis transformatif diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka bepikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam hal ini penerapan paradigma kritis transformatif bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral, tetapi pada persoalan yang profan. Lewat paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
Sebagaimana dijelaskan diatas, pertama paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses social yang bersifat profan, kedua paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis transformatif dikalangan warga PMII.

c. Dasar PKT
Ada beberapa alas an yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengimpletasikan pemikiran serta penyusunan cara pandang dalam melakukan analisa. Pertama masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kedua masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun keprcayaan. Kondisi ini sangat memerlukan paradigma kritis. Ketiga budaya pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan dengan teori-teori modern yang di presentasikan melalui ideology developmentalisme pada bagian tertentu. Keempat selain terbelenggu social politik yang masih melekat hingga hari ini meskipun tidak separah era orde baru dampaknya secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama.

d. Peranan PKT
Menurut Hasan Hanafi Penerapan paradigma kritis ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikirannya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbarui masyarakat islam yang mengalami ketertinggalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis social. Menurutnya selama ini mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. Pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode tradisional teks yang telah mengalami ideologis.
Dari pemahaman gerakan paradigma kritis tersebut sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka dalam paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terfokus pada dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang-kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.
Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan dinamis, berjalannya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.

KESIMPULAN
Paradigma Kritis Transformatif PMII merupakan pandangan fundamentalis tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam pergerakan, format pengkaderan yang dikemas dalam rumusan materi PKT untuk membangun kesadaran kritis individualis menuju kesadaran kritis social dan menciptakan ruang kritis pada pembacaan struktur dan system ketidakadilan yang mempreser tranformasi kontruksi social menuju tatanan keadilan. Dalam PKT ini sebagai kader pergerakan harus mampu mengindentifikasi dan menganalisa secara bebas dan kritis dalam transformasi social, tanpa mengesampingkan platform profan”Religius Nasionalis” dengan dalih untuk mensukseskan cita-cita yang mulia dan utama dalam bingkai “Memanusiakan Kembali Manusia Yang Mengalami Dehumanisasi Karena System Dan Struktur Yang Tidak Adil”.

Sumber Bacaan ;
[1] Refrensi Penunjang Pada Pelatihan MAPABA PMII Komisariat Al-Khairat Pamekasan
[2] Penulis adalah alumni PMII Al-Khairat, saat ini menjabat sebagai pengajar
[3] Pedoman Pendidikan kritis dan transformatif, PB. PMII. 2000. Hal : 81
[4] Pedoman Pendidikan kritis dan transformatif, PB. PMII. 2000. Hal : 83
[5] Pedoman Pendidikan kritis dan transformatif, PB. PMII. 2000. Hal : 86
[6] Hasil Kongres XV PB. PMII. Bogor. 28 Mei – 03 Juni 2005. Hal : 23


Jumat, 19 Juni 2009

Arti Seorang Sahabat


By ; Syamsul Arifin

Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri. Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.
Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya. Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.
Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur - disakiti, diperhatikan - dikecewakan, didengar - diabaikan, dibantu - ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.
Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya, ia memberanikan diri menegur apa adanya. Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.
Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.
Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis. Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya.
Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya. Ingatlah kapan terakhir kali anda berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping anda ? Siapa yang mengasihi anda saat anda merasa tidak dicintai ? Siapa yang ingin bersama anda saat anda tak bisa memberikan apa-apa ?

MEREKALAH SAHABAT ANDA
Hargai dan peliharalah selalu persahabatan anda dengan mereka.

"Dalam masa kejayaan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman-teman kita"

Ada Apa Dengan Kebijakan Pendidikan Kita?


Oleh : Kholifah Noviana

Wacana pendidikan merupakan suatu wacana populis (merakyat) yang tidak mungkin ada habisnya di negeri ini. Berbagai asumsi dan opini yang menjadi wacana mengenai pendidikan, banyak muncul terkait dengan nasib pendidikan kita yang selama ini masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Permasalahan-permasalahan seperti terlalu minimnya fasilitas pendidikan, mahalnya biaya pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini, merupakan pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah kita. Selama ini berbagai kebijakan dan terobosan telah dilakukan pemerintah untuk mendongkrak kemajuan pendidikan di negeri ini, namun hal tersebut hingga kini belum mampu memperlihatkan hasil yang sempurna, masih banyak permasalahan-permasalahan pendidikan yang harus dibenahi atau bahkan dirombak total. Dari sebab itu dalam tulisan ini redaksi berusaha sedikit mengurai mengenai beberapa hal terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia.

Problem Pemerintah Dalam Penerapan Kebijakan Pendidikan
Selama kurun tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah kebijakan BOS (bantuan Operasional Sekolah) dan penerapan standar kelulusan UN sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut mampu menjadi solusi bagi kemajuan pendidikan di Indonesia? Karena pada tataran realitas, selama ini nasib pendidikan di Indonesia kalau tidak dikatakan mundur berarti masih tetap berjalan di tempat. 
Ada dua hal mungkin yang bisa menjadi sorotan terkait kurang optimalnya pemerintah dalam membenahi sistem pendidikan nasional di Indonesia. Yang pertama, adalah harus adanya penerapan kebijakan yang berbasiskan pada realitas pendidikan. Penerapan kebijakan yang berbasiskan realitas merupakan suatu hal yang wajib menjadi landasan dalam setiap kebijakan pendidikan. Karena realitas mampu menampilkan kondisi pendidikan yang sesungguhnya. 
Basis realitas pendidikan yang dimaksud adalah basis realitas pendidikan yang diambil secara komprehensif (menyeluruh) dan objektif yang terdapat pada seluruh daerah di Indonesia. Faktor komprehensifitas dan objektifitas ini menjadi prinsip utama dalam penerapan kebijakan yang berbasiskan realitas, karena dari kedua prinsip ini gambaran realitas pendidikan di Indonesia tidak akan menjadi abu-abu dan sempit. Dari sinilah kemudian kebijakan-kebijakan baru bisa diterapkan.  
Kemudian yang kedua, adalah peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan kontrolling terkait dengan penerapan kebijakan-kebijakan pendidikannya. Peran pemerintah dalam melakukan pengawasan kebijakannya tersebut menempati posisi yang sangat urgen pada tataran keberhasilan penerapan kebijakannya tersebut. Selama ini, hal yang paling rapuh dan lemah dalam usaha memajukan pendidikan di Indonesia adalah tidak adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat terkait dengan kebijakan-kebijakannya. Hal tersebut kemudian bisa melahirkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para oknum di daerah-daerah yang merasa leluasa tanpa adanya pengawasan dari pusat.
Suatu contoh adalah dengan adanya kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang selama setahun terakhir ini menjadi sorotan berbagai kalangan pemerhati pendidikan di Indonesia. Pidato Presiden SBY pada Rapat Paripurna DPR Agustus 2006 yang menyatakan bahwa pemerintah telah mendistribusiskan BOS ke 29,4 Juta murid SD dan 10,5 Juta murid SMP, pada perspektif pemerintah pusat hal itu mungkin merupakan suatu terobosan yang spektakuler dan menjadi parameter bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Namun, bagi sebagian kalangan pemerhati pendidikan hal tersebut hanya merupakan setitik kemajuan yang hanya dapat dilihat dari segi jumlah atau kuantitas umum saja. Karen pada tataran praksis di lapangannya distribusi dana BOS yang disampaikan Presiden SBY tersebut belum mampu secara utuh meringankan beban biaya pendidikan masyarakat. Karena lagi-lagi hal yang substansialnya meringankan beban biaya pendidikan tersebut, justru oleh beberapa kelompok oknum di daerah-daerah dimanfaatkan sebagai lahan baru bagi praktek-praktek korupsi dan rekayasa untuk melahirkan biaya-biaya baru yang diperuntukkan kepada murid di luar biaya BOS.
Jadi, pada satu sisi ada upaya pemerintah meringankan beban biaya pendidikan masyarakat dan pada sisi lainnya ada upaya beberapa oknum untuk menciptakan tarikan beban biaya baru di luar BOS yang harus ditanggung oleh masyarakat. Ketumpangtindihan dan rekayasa model baru inilah yang terjadi pada masyarakat kita. Hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya pengawasan pemerintah pusat dalam mengawal kebijakan-kebijakannya, yang akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban beban biaya pendidikan terus-menerus.  

UAN dan UN.
Sebagai sebuah upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, sejak tahun ajaran 2002/2003 pemerintah menggalakkan kebijakan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai standarisasi nilai kelulusan secara nasional. Kebijakan ini sejak digulirkan hingga kini menjadi polemik tersendiri bagi kalangan pemerhati pendidikan di Indonesia, bahkan bagi pihak kementrian pendidikan nasional sendiri pun harus disibukkan dengan kebijakannya ini.
Pokok permasalahan dalam kebijakan UAN adalah pada tahap standarisasi nilai kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Semenjak pertama UAN digulirkan standard nilai yang diterapkan oleh pemerintah adalah 3,01. Kemudian, pasca UAN diganti dengan UN (Ujian Nasional) standar nilai kelulusan semakin meningkat dengan nilai 4.01 (2004/2005), kemudian meningkat lagi pada tahun berikutnya menjadi 4,26 (2005/2006).
Standar nilai kelulusan ini ditetapkan dan disesuaikan dengan target yang diidealkan pemerintah. Pemerintah mengharap bahwa dengan penerapan sistem standar nilai kelulusan ini, pemerintah dapat mengangkat mutu pendidikan di Indonesia. Hal tersebut kemudian menjadi sangat kontradiktif dengan apa yang ada pada pandangan pemerhati pendidikan di Indonesia atau bahkan dalam kacamata masyarakat itu sendiri. Bagi para pemerhati pendidikan, UN merupakan kesalahan interpretasi pemerintah dalam memahami evaluasi dari standard pendidikan nasional. 
Seperti apa yang disampaikan oleh Deni Hadiana (Perekayasa Pendidikan Litbang Diknas), bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan UN. Pertama, kesalahpahaman interpretasi terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Dan yang kedua, adalah UN belum mampu mencerminkan keadilan bagi peserta didik, hal tersebut bisa dilihat dari masih tingginya disparitas mutu pendidikan antar satu sekolah dengan sekolah lainnya, yang kemudian bisa melahirkan persaingan yang tidak sehat antar sekolah atau bahkan pihak sekolah akan melakukan kecurangan-kecurangan demi mencapai target standar kelulusan UN.
Di samping itu, pada wilayah masyarakat dan pelaku pendidikan, standar UN seakan-akan menjadi “momok” yang menakutkan. Banyak orang tua siswa dan pelaku pendidikan yang menjadi gelisah setiap menjelang UN. Bahkan beberapa siswa harus mengalami shocktrauma dalam menghadapi UN.
Dari uraian tersebut, mungkin terdapat beberapa hal yang memang harus disikapi baik oleh pemerintah, pengamat pendidikan, sekolah dan para orang tua murid, terkait dengan UN. Yang pertama, perlunya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Kedua, perlu diterapkannya tahapan dalam menerapkan standar UN yang berbasis sekolah dan psikologi siswa. Dan yang terakhir adalah adanya pengawasan yang kontinyu baik oleh pemerintah maupun masyarakat terhadap realisasi dari UN tersebut.
Penutup  
Dari berbagai uraian di atas tersebut ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan refleksi bagi kita dalam melihat perkembangan nasib pendidikan di Indonesia. Setidak-tidaknya ada benang merah yang bisa kita usut dalam menyikapi nasib pendidikan di Indonesia. Dan bisa menjadi landasan dalam menyikapi pendidikan secara arif, agar seluruh kalangan bisa menyadari akan arti vital dari pendidikan. Bukankah pepatah lama selalu mengatakan bahwa ilmu itu adalah cahaya bagi kehidupan. Jadi pendidikan adalah pilar dasar bagi kemajuan Indonesia pada masa yang akan datang.

Sekilas Tentang Perempuan


By ; Minhatun Illah
Dengan makin digalakkannya program otonomi daerah, maka dalam hal pemanfaatan sumber daya manusia keseimbangan peran aktif laki-laki dan perempuan merupakan hal yang sangat esensial. Tetapi pada kenyataannya pada saat ini keterlibatan wanita cenderung belum/kurang dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut terbukti dari banyaknya sumber daya perempuan yang belum dimanfaatkan secara maksimal baik dari segi pendidikan maupun dari segi kesempatan kerja. Pada dasarnya sumber daya perempuan merupakan sumber daya manusia yang sangat potensial dan sangat strategis untuk dikembangkan sebab kemampuan perempuan pada saat ini sudah bisa dikatakan sama bahkan lebih baik daripada laki-laki. Dan apabila potensi kaum perempuan tadi tidak dimanfaatkan secara optimal, maka dapat berpengaruh terhadap program pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu bangsa.
Bersambung...
salam pergerakan... !

Selamat & Sukses


Sekamat atas terpilihnya

Sahabat Muhammad Ramli

sebagai Ketua PMII Komisariat Al-Khairat Pamekasan

Masa Khidmad 2009-2010.

semoga mampu menjalankan roda kepemimpinan ke arah yang lebih baik

dzikir, fikir & amal shalih

salam pergerakan...!

Sekilas Tentang Pergerakan


Oleh; Nor Hasanah

Organisasi sebagai bagian dari bangsa Indonesia mengakui adanya ideologi dan falsafah hidup bangsa yang terumuskan dalam pancasila. Sebagai organisasi yang menganut nilai ke-Islaman, yang senantiasa menjadikan Islam sebagai panduan dan sekaligus menyebarkan dan mengejawantahkan kedalam pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

Bahwa nilai ke-Indonesiaan dan ke-Islaman merupakan paduan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari Indonesia, maka kewajiban bagi setiap orang adalah mempertahankannya dengan segala tekad dan kemampuan, baik secara pribadi maupun bersama-sama.
Sebagai organisasi yang mengemban misi perubahan dan intelektual, Mahasiswa Islam wajib bertanggung jawab membebaskan bangsa Indonesia dari keterbelakangan dan keterpurukan kepada kemajuan, kemakmuran dan keadilan. Kewajiban dan tanggung jawab ke-Islaman, ke-Indonesiaan dan Intelektual, menginspirasikan terbentuknya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sebagai Organisasi Mahasiswa Islam yang berhaluan Ahlussunah Wal Jamaah.

Sekilai Nilai dalam PMII
 Ke-Islaman adalah nilai-nilai Islam Ahlussunah Wal Jamaah.
 Kemahasiswaan adalah sifat-sifat yang dimiliki mahasiswa, yaitu idealisme, perubahan, komitmen, keperdulian sosial dan kecintaan kepada hal-hal yang bersifat positif.
 Kebangsaan adalah nilai-nilai yang bersumber dari kultur, filosofi, sosiologi dan yuridis bangsa Indonesia.
 Kemasyarakatan adalah bersifat include dan menyatu dengan masyarakat dengan masyarakat. Bergerak dari dan untuk masyarakat.
 Independen adalah berdiri secara mandiri, tidak bergantung kepada pihak lain, baik secara perorangan maupun kelompok.
 Profesional adalah distrubusi tugas dan wewenang sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan keilmuan masing-masing.

Pribadi ulul albab adalah seseorang yang selalu haus akan ilmu, dengan senantiasa berdzikir kepada Allah, berkesadaran historis-primordial atas relasi Tuhan-manusia-alam, berjiwa optimis transendental sebagai kemampuan untuk mengatasi masalah kehidupan, berpikir dialektis, bersikap kritis dan bertindak transformatif.
Adapun tugas dari seorang kader, antara lain :
 Melakukan dan meningkatkan amar ma’ruf nahi munkar.
 Mempertinggi mutu ilmu pengetahuan Islam dan IPTEK.
 Meningkatkan kualitas kehidupan umat manusia dan umat Islam melalui kontekstualisasi pemikiran, pemahaman dan pengalaman ajaran agama Islam sesuai dengan perekembangan budaya masyarakat.
 Meningkatkan usaha-usaha dan kerjasama untuk kesejahteraan umat manusia, umat Islam dan mahasiswa serta usaha sosial kemasyarakatan.
 Mempererat hubungan dengan ulama dan umara demi terciptanya ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah..
 Memupuk dan meningkatkan semangat nasionalisme melalui upaya pemahaman, dan pengamalan pancasila secara kreatif dan bertanggung jawab.

Keanggotaan
1. Anggota biasa adalah :
o Mahasiswa Islam yang tercatat sebagai mahasiswa pada suatu perguruan tinggi dan atau yang sederajat.
o Mahasiswa Islam yang telah menyelesaikan program studi pada perguruan tinggi dan atau yang sederajat atau telah mencapai gelar kesarjanaan S1, S2, atau S3 tetapi belum melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun.
o Anggota yang belum melampaui usia 35 tahun.
2. Kader adalah :
o Telah dinyatakan berhasil menyelesaikan Pelatihan Kader Dasar (PKD) dan follow up-nya.
o Sebagai mana pada ayat (2) poin (a) baik yang menjadi pengurus Rayon dan seterusnya maupun yang telah menggeluti kajian-kajian, aktif melakukan advokasi di masyarakat maupun telah memasuki wilayah professional.

Penerimaan anggota dilakukan dengan cara :
o Calon anggota mengajukan permintaan secara tertulis atau mengisi formulir untuk menjadi calon anggota PMII kepada Pengurus Cabang.
o Seseorang syah menjadi anggota PMII setelah mengikuti Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) dan mengucapkan bai’at persetujuan dalam suatu upacara pelantikan.
o Dalam hal-hal yang sangat diperlukan, Pengurus Cabang dapat mengambil kebijaksanaan lain yang jiwanya tidak menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2) tersebut diatas.
o Apabila syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 dan 2 di atas dipenuhi kepada anggota tersebut diberikan tanda anggota oleh Pengurus Cabang.

Keanggotaan berakhir masa keanggotaan, apabila :
o Meninggal dunia.
o Atas permintaan sendiri secara tertulis yang disampaikan kepada Pengurus Cabang.
o Diberhentikan sebagai anggota, baik secara terhormat maupun secara tidak terhormat.
o Telah habis masa keanggotaan sebagai anggota biasa sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 1 ART ini.

Bentuk dan tata cara pemberhentian diatur dalam ketentuan tersendiri.
o Anggota yang telah habis masa keanggotaannya pada saat masih menjabat sebagai pengurus dapat diperpanjang masa keanggotaannya hingga berakhirnya masa kepengurusan.
o Anggota yang telah habis masa keanggotaannya disebut “Alumni PMII”.
o Hubungan PMII dan Alumni PMII adalah hubungan histories, kekeluargaan, kesetaraan dan kualitatif.

Hak & Kewajiban Anggota

 Hak Anggota : Anggota berhak atas pendidikan, kebebasan berpendapat, perlindungan, dan pembelaan serta pengampunan (rehabilitasi).
 Kewajiban Anggota, antara lain :
a) Membayar uang pangkal dan iuran pada setiap bulan yang besarnya ditentukan oleh Pengurus Cabang.
b) Mematuhi AD/ART, NDP, Paradigma Gerakan serta produk hukum organisasi lainnya.
c) Menjunjung tinggi dan mempertahankan nama baik agama Islam, Negara dan organisasi.

Hak Kader :
• Berhak memilih dan dipilih.
• Berhak mendapat pendidikan, kebebasan berpendapat, perlindungan, dan pembelaan serta pengampunan (rehabilitasi).
• Berhak mengeluarkan pendapat, mengajukan usul-usul dan pertanyaan-pertanyaan secara lisan maupun secara tulisan.

Kewajiban Kader :
 Melakukan dinamisasi organisasi dan masyarakat melalui gerakan pemikiran dan rekayasa sosial secara sehat mulia.
 Membayar uang pangkal dan iuran pada setiap bulan yang besarnya ditentukan oleh Pengurus Cabang.
 Mematuhi dan menjalankan AD/ART, NDP, Paradigma Gerakan dan produk hukum organisasi lainnya.
 Menjunjung tinggi dan mempertahankan nama baik agama Islam, negara dan organisasi.

Sumber ;
1. Bunga Rampai PMII
2. AD/ART PMII