Oleh ; Siti Khotimah
Ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi. Tiga kata inilah yang mungkin mewakili kasus menyedihkan yang menimpa Rahayu, pekerja rumah tangga di Singapura asal Banyumas. Rahayu hanyalah salah satu dari ribuan, bahkan ratusan ribu perempuan pekerja/buruh yang bekerja di luar negeri (Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, dan lain-lain). Betapa kejamnya perlakuan yang ditimpakan kepada Rahayu. Ancaman pembunuhan, pemerasan, makian, direndahkan martabatnya, gaji tak dibayar, dan sebagainya. Rahayu adalah seorang perempuan dan dari keluarga miskin. Alasan karena perempuan, miskin, dan lemah inilah yang seringkali dijadikan dalih penindasan.
Perempuan-perempuan lainnya juga mendapatkan pengalaman yang tidak kalah pedih. Data-data yang keluarkan oleh sejumlah lembaga berikut menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre di Jakarta dalam rentang waktu 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Parahnya lagi, dari sekian kasus yang diadukan, 69% lebih pelakunya adalah suami korban. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, berdasarkan data yang dikeluarkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, selama tahun 1999-2000 telah menerima pengaduan 994 kasus kekerasan terhadap istri. (Jurnal Perempuan, No. 26, tahun 2002, hal. 9). Para perempuan korban kekerasan yang ditangani oleh LBH APIK Jakarta dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan; tahun 2000, 343 kasus ditangani, tahun 2001 sebanyak 471 kasus, 2002 sebanyak 530, 2003 sebanyak 627, 2004 sebanyak 817, dan tahun 2005 sebanyak 1046 kasus. (LBH APIK Jakarta, Catatan Awal Tahun 2006, hal. 3).
Di wilayah Jember Jawa Timur, pemandangan kekerasan terhadap perempuan juga sangat marak. GPP (Gerakan Peduli Perempuan) Jember mengeluarkan data tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya sebanyak 55 dalam rentang waktu antara Mei 2005 – Maret 2006. Umur korban berusia antara 4–30 tahun dengan pelaku yang umurnya juga bervariasi dari 12–72 tahun. Kondisi korban juga bervariasi, ada yang dicabuli, dianiaya secara fisik, diperkosa dengan kekerasan, hingga yang batok kepalanya terkelupas, serta yang vaginanya luka memar. Data-data tersebut baru yang dihimpun dari berita koran Radar Jember dan Harian Surya (GPP Jember, 2006).
Belum lagi, pengalaman pahit yang dialami oleh ibu-ibu melahirkan. Ancaman Kematian Ibu saat mengandung atau melahirkan sangatlah tinggi. Jumlah AKI di Indonesia mencapai angka yang fantastis dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Menurut data Depkes 2000 dan 2002, AKI di Indonesia tahun 1995 sebanyak 375 per 100.000 kelahiran dan di tahun 2001 meningkat menjadi 396 per 100.000. Yang mengherankan, AKI di Indonesia 66 kali dibanding Singapura, 10 kali AKI Malaysia, 10 kali Iran, 9 kali AKI Thailand, 5,3 Tunisia, 2,9 kali Turki, dan 2,3 kali AKI Filipina. (Yayasan Kesehatan Perempuan, Fact Sheet, Nov. 2003). Kematian ini disebabkan oleh penyebab klasik, perdarahan, keracunan kehamilan, dan infeksi. Penyebab itu bisa dicegah, jika dilakukan pemeriksaan kehamilan yang rutin dan memadai. Di sini peran negara sangat berpengaruh. Negara berkewajiban memperbaiki sistem kesehatan dan kesejahteraan sosial, karena kesehatan adalah bagian penting dari hak hidup layak.
Di sisi lain, masih banyak anak-anak perempuan yang mengalami ketidakadilan berupa kawin paksa dan atau kawin dini. Di Jawa Barat (tahun 2004), misalnya, angka perkawinan muda (dini) sebanyak 62,4% dari total perkawinan di sana. Dari data tersebut, 35,9% di antaranya berusia di bawah 15 tahun. Selebihnya, 26,5% berusia 16 tahun ke atas (Jurnal Perempuan, no. 36, th. 2004, hal. 51). Menurut keluarga mereka, perkawinan usia dini ini dijadikan sebagai strategi untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Dengan menikah, diharapkan ada jalan keluar secara ekonomi. Sayangnya, seperti kata pepatah, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Kemiskinan tetap melilit ditambah permasalahan lainnya yang lebih parah. Banyak rumah tangga muda tadi yang kemudian tidak bisa bertahan, akhirnya berantakan dengan meninggalkan anak-anak kecil, miskin, dan tak terurus.
Di sisi lain, banyak pula anak-anak perempuan, karena terutama keterbatasan ekonomi, mengalami pembatasan dalam sekolah. Anak perempuan dilarang meneruskan sekolah lebih tinggi karena dianggap tidak bermanfaat, buang-buang duit, atau karena hendak dikawinkan. Dalam pandangan kelompok ini anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, kan pada akhirnya harus kembali ke rumah menjadi ibu rumah tangga yang berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur (atau sering diistilahkan masak, macak, manak). Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa 82,01% perempuan Indonesia berumur di atas 10 tahun hanya berpendidikan SD. (Jurnal Perempuan, 36, tahun 2004, hal. 52).
Ini menunjukkan ada diskriminasi yang kuat terhadap perempuan, sehingga aksesnya terhadap pendidikan menjadi terbatas atau dibatasi. Tentu ini berdampak pada kualitas SDM perempuan di negeri ini. Anehnya, jika ekonomi keluarga sedang sulit atau pas-pasan, perempuan dipaksa oleh keadaan bekerja dengan kualitas ala kadarnya, karena pendidikannya terbatas. SDM perempuan Indonesia harus bersaing dengan SDM asing yang berpendidikan tinggi dan berketerampilan hebat. Akhirnya, daya tawar mereka menjadi rendah, kemudian mereka ditindas dan diperas, di negeri sendiri maupun di negeri orang. Bagaimana perempuan akan bangkit dan maju, jika pendidikan tidak diperjuangkan bagi mereka. Padahal banyak anak didik perempuan yang ketika di sekolah atau kampus kualitasnya sangat baik, bahkan rata-rata sepuluh terbaik peserta didik di banyak sekolah/kampus diraih justru oleh perempuan. Mengapa potensi hebat para pelajar perempuan ini justru dipasung dengan berbagai dalih, budaya atau juga agama?
Realitas ketidakadilan di atas masih bisa diperpanjang lagi deretannya, terutama dari daerah-daerah konflik yang juga menyisakan perempuan sebagai korban. Berapa banyak perempuan yang menjadi korban konflik di Aceh, di Ambon, di Timor-Timur (dulu). Biasanya, perempuan di daerah konflik, pengalamannya lebih tragis.
Dari semua data yang ada disadari bahwa data yang terhimpun hanyalah secuil dari kejadian yang sebenarnya, persis seperti gunung es yang hanya permukaannya saja yang terlihat. Di bawah permukaan tentu jumlahnya lebih besar lagi. Begitu juga jumlah perempuan korban kekerasan yang tidak dilaporkan atau tidak terekspos jumlahnya tentu lebih besar lagi.
Zaman sudah berubah. Modernisasi di segala bidang dan globalisasi yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, menyerbu ke segenap penjuru dunia hingga ke pelosok desa. Desa semakin berubah menjadi kota. Kota kecil menjadi kota besar, bahkan menjadi kota metropolitan yang bermandikan cahaya lampu di malam hari. Ironisnya, yang tidak berubah hanyalah penindasan, pemerasan, serta penjajahan manusia atas manusia lainnya, walaupun dengan wajah yang berbeda. Mungkin ini yang disebut oleh Thomas Hobes sebagai homo homini lupus, manusia menganggap manusia lainnya sebagai serigala yang saling menerkam. Tentu manusia yang merasa kuat akan menerkam manusia yang dianggap lemah. Budaya dan struktur patriarki direpresentasi bukan kepada laki-laki sebagai person, tetapi telah menjadi sistem dan struktur yang menindas perempuan. Kasus-kasus yang menimpa pekerja rumah tangga, buruh pabrik, dan masih banyak lagi merupakan contoh yang sangat jelas.
Realitas ketidakadilan yang dialami oleh banyak perempuan tersebut apakah tetap akan terjadi dan dilestarikan serta diwariskan dari zaman ke zaman, walaupun Nabi Muhammad SAW telah membebaskannya sejak 15 abad lalu melalui misi kenabiannya sebagai rahmat bagi alam semesta. Begitu pula Kartini dan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang telah menyuarakannya sejak 100 tahun lalu melalui tulisan-tulisan dan kerja kemanusiaan mereka. Inilah pertanyaan mendasar yang seharusnya menggugat nurani kita semua.
Wallahul Muwafioq ila aqmit thariq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar