Senin, 06 Juli 2009

Realitas Kehidupan Perempuan Masa Kini


Oleh ; Siti Khotimah

Ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi. Tiga kata inilah yang mungkin mewakili kasus menyedihkan yang menimpa Rahayu, pekerja rumah tangga di Singapura asal Banyumas. Rahayu hanyalah salah satu dari ribuan, bahkan ratusan ribu perempuan pekerja/buruh yang bekerja di luar negeri (Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, dan lain-lain). Betapa kejamnya perlakuan yang ditimpakan kepada Rahayu. Ancaman pembunuhan, pemerasan, makian, direndahkan martabatnya, gaji tak dibayar, dan sebagainya. Rahayu adalah seorang perempuan dan dari keluarga miskin. Alasan karena perempuan, miskin, dan lemah inilah yang seringkali dijadikan dalih penindasan.
Perempuan-perempuan lainnya juga mendapatkan pengalaman yang tidak kalah pedih. Data-data yang keluarkan oleh sejumlah lembaga berikut menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre di Jakarta dalam rentang waktu 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Parahnya lagi, dari sekian kasus yang diadukan, 69% lebih pelakunya adalah suami korban. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, berdasarkan data yang dikeluarkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, selama tahun 1999-2000 telah menerima pengaduan 994 kasus kekerasan terhadap istri. (Jurnal Perempuan, No. 26, tahun 2002, hal. 9). Para perempuan korban kekerasan yang ditangani oleh LBH APIK Jakarta dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan; tahun 2000, 343 kasus ditangani, tahun 2001 sebanyak 471 kasus, 2002 sebanyak 530, 2003 sebanyak 627, 2004 sebanyak 817, dan tahun 2005 sebanyak 1046 kasus. (LBH APIK Jakarta, Catatan Awal Tahun 2006, hal. 3).
Di wilayah Jember Jawa Timur, pemandangan kekerasan terhadap perempuan juga sangat marak. GPP (Gerakan Peduli Perempuan) Jember mengeluarkan data tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya sebanyak 55 dalam rentang waktu antara Mei 2005 – Maret 2006. Umur korban berusia antara 4–30 tahun dengan pelaku yang umurnya juga bervariasi dari 12–72 tahun. Kondisi korban juga bervariasi, ada yang dicabuli, dianiaya secara fisik, diperkosa dengan kekerasan, hingga yang batok kepalanya terkelupas, serta yang vaginanya luka memar. Data-data tersebut baru yang dihimpun dari berita koran Radar Jember dan Harian Surya (GPP Jember, 2006).
Belum lagi, pengalaman pahit yang dialami oleh ibu-ibu melahirkan. Ancaman Kematian Ibu saat mengandung atau melahirkan sangatlah tinggi. Jumlah AKI di Indonesia mencapai angka yang fantastis dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Menurut data Depkes 2000 dan 2002, AKI di Indonesia tahun 1995 sebanyak 375 per 100.000 kelahiran dan di tahun 2001 meningkat menjadi 396 per 100.000. Yang mengherankan, AKI di Indonesia 66 kali dibanding Singapura, 10 kali AKI Malaysia, 10 kali Iran, 9 kali AKI Thailand, 5,3 Tunisia, 2,9 kali Turki, dan 2,3 kali AKI Filipina. (Yayasan Kesehatan Perempuan, Fact Sheet, Nov. 2003). Kematian ini disebabkan oleh penyebab klasik, perdarahan, keracunan kehamilan, dan infeksi. Penyebab itu bisa dicegah, jika dilakukan pemeriksaan kehamilan yang rutin dan memadai. Di sini peran negara sangat berpengaruh. Negara berkewajiban memperbaiki sistem kesehatan dan kesejahteraan sosial, karena kesehatan adalah bagian penting dari hak hidup layak.
Di sisi lain, masih banyak anak-anak perempuan yang mengalami ketidakadilan berupa kawin paksa dan atau kawin dini. Di Jawa Barat (tahun 2004), misalnya, angka perkawinan muda (dini) sebanyak 62,4% dari total perkawinan di sana. Dari data tersebut, 35,9% di antaranya berusia di bawah 15 tahun. Selebihnya, 26,5% berusia 16 tahun ke atas (Jurnal Perempuan, no. 36, th. 2004, hal. 51). Menurut keluarga mereka, perkawinan usia dini ini dijadikan sebagai strategi untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Dengan menikah, diharapkan ada jalan keluar secara ekonomi. Sayangnya, seperti kata pepatah, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Kemiskinan tetap melilit ditambah permasalahan lainnya yang lebih parah. Banyak rumah tangga muda tadi yang kemudian tidak bisa bertahan, akhirnya berantakan dengan meninggalkan anak-anak kecil, miskin, dan tak terurus.
Di sisi lain, banyak pula anak-anak perempuan, karena terutama keterbatasan ekonomi, mengalami pembatasan dalam sekolah. Anak perempuan dilarang meneruskan sekolah lebih tinggi karena dianggap tidak bermanfaat, buang-buang duit, atau karena hendak dikawinkan. Dalam pandangan kelompok ini anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, kan pada akhirnya harus kembali ke rumah menjadi ibu rumah tangga yang berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur (atau sering diistilahkan masak, macak, manak). Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa 82,01% perempuan Indonesia berumur di atas 10 tahun hanya berpendidikan SD. (Jurnal Perempuan, 36, tahun 2004, hal. 52).
Ini menunjukkan ada diskriminasi yang kuat terhadap perempuan, sehingga aksesnya terhadap pendidikan menjadi terbatas atau dibatasi. Tentu ini berdampak pada kualitas SDM perempuan di negeri ini. Anehnya, jika ekonomi keluarga sedang sulit atau pas-pasan, perempuan dipaksa oleh keadaan bekerja dengan kualitas ala kadarnya, karena pendidikannya terbatas. SDM perempuan Indonesia harus bersaing dengan SDM asing yang berpendidikan tinggi dan berketerampilan hebat. Akhirnya, daya tawar mereka menjadi rendah, kemudian mereka ditindas dan diperas, di negeri sendiri maupun di negeri orang. Bagaimana perempuan akan bangkit dan maju, jika pendidikan tidak diperjuangkan bagi mereka. Padahal banyak anak didik perempuan yang ketika di sekolah atau kampus kualitasnya sangat baik, bahkan rata-rata sepuluh terbaik peserta didik di banyak sekolah/kampus diraih justru oleh perempuan. Mengapa potensi hebat para pelajar perempuan ini justru dipasung dengan berbagai dalih, budaya atau juga agama?
Realitas ketidakadilan di atas masih bisa diperpanjang lagi deretannya, terutama dari daerah-daerah konflik yang juga menyisakan perempuan sebagai korban. Berapa banyak perempuan yang menjadi korban konflik di Aceh, di Ambon, di Timor-Timur (dulu). Biasanya, perempuan di daerah konflik, pengalamannya lebih tragis.
Dari semua data yang ada disadari bahwa data yang terhimpun hanyalah secuil dari kejadian yang sebenarnya, persis seperti gunung es yang hanya permukaannya saja yang terlihat. Di bawah permukaan tentu jumlahnya lebih besar lagi. Begitu juga jumlah perempuan korban kekerasan yang tidak dilaporkan atau tidak terekspos jumlahnya tentu lebih besar lagi.
Zaman sudah berubah. Modernisasi di segala bidang dan globalisasi yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, menyerbu ke segenap penjuru dunia hingga ke pelosok desa. Desa semakin berubah menjadi kota. Kota kecil menjadi kota besar, bahkan menjadi kota metropolitan yang bermandikan cahaya lampu di malam hari. Ironisnya, yang tidak berubah hanyalah penindasan, pemerasan, serta penjajahan manusia atas manusia lainnya, walaupun dengan wajah yang berbeda. Mungkin ini yang disebut oleh Thomas Hobes sebagai homo homini lupus, manusia menganggap manusia lainnya sebagai serigala yang saling menerkam. Tentu manusia yang merasa kuat akan menerkam manusia yang dianggap lemah. Budaya dan struktur patriarki direpresentasi bukan kepada laki-laki sebagai person, tetapi telah menjadi sistem dan struktur yang menindas perempuan. Kasus-kasus yang menimpa pekerja rumah tangga, buruh pabrik, dan masih banyak lagi merupakan contoh yang sangat jelas.
Realitas ketidakadilan yang dialami oleh banyak perempuan tersebut apakah tetap akan terjadi dan dilestarikan serta diwariskan dari zaman ke zaman, walaupun Nabi Muhammad SAW telah membebaskannya sejak 15 abad lalu melalui misi kenabiannya sebagai rahmat bagi alam semesta. Begitu pula Kartini dan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang telah menyuarakannya sejak 100 tahun lalu melalui tulisan-tulisan dan kerja kemanusiaan mereka. Inilah pertanyaan mendasar yang seharusnya menggugat nurani kita semua.

Wallahul Muwafioq ila aqmit thariq

Minggu, 05 Juli 2009

Pengembangan Organisasi PMII



Pendahuluan
Tulisan ini diambil dari buku seri pedoman Manajemen, oleh Penerbit Gramedia. Tulisan ini adalah salah satu contoh cara pengembangan organisasi atau Organization Development (OD). Ada beberapa faktor yang bisa diambil pelajaran, dan bisa kita mulai terapkan di PMII khususnya dalam upaya mengembangkan keorganisasian cabang, komisariat bahkan rayon. Materi ini merupakan pengantar secara umum yang masih memerlukan analisa terapan lebih lanjut, sehingga akan diperoleh model pengembangan organisasi cabang secara ideal..

Pengembangan Organisasi 
Pengembangan organisasi dalam ilmu managemen lebih dikenal dengan organization development (OD) .Pengertian pokok OD adalah perubahan yang terencana (planned change). Perubahan , dalam bentuk pembaruan organisasi dan modernisasi, terus menerus terjadi dan mempunya pengaruh yang sangat dominan dalam masyarakat kini. Organisasi beserta warganya, yang membentuk masyakat modern , mau tidak mau harus beradaptasi terhadap arus perubahan ini. Perubahan perubahan yang terjadi pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat katagori , yaitu perkembangan teknologi, perkembangan produk, ledakan ilmu pengetahuan dan jasa yang mengakibatkan makin singkatnya daur hidup produk, serta perubahan sosial yang mempengaruhi perilaku, gaya hidup, nilai-nilai dan harapan tiap orang.
Untuk dapat bertahan , organisasi harus mampu mengarahkan warganya agar dapat beradaptasi dengan baik dan bahkan agar mampu memanfaatkan dampak positif dari berbagai pembaruan tersebut dengan pengembangan diri dan pengembangan organisasi. Proses mengarahkan warga organisasi dalam mengembangkan diri menghadapi perubahan inilah yang dikenal luas sebagai proses organization development (OD).
Karena menyangkut perubahan sikap, persepsi, perilaku dan harapan semua anggota organisasi, OD di definisikan sebagai upaya pimpinan yang terencana dalam meningkatkan efektivitas organisasi, dengan menggunakan cara intervensi (oleh pihak ketiga) yang didasarkan pada pendekatan perilaku manusia. Dengan kata lain penerapan OD dalam organisasi dilakukan dengan bantuan konsultan ahli, sistemis ,harus didukung oleh pimpinan serta luas aplikasinya.

Teori dan praktik OD didasarkan pada beberapa asumsi penting yakni :
• Manusia sebagai individu, Dua asumsi penting yang mendasari OD adalah bahwa manusia memiliki hasrat berkembang dan kebanyakan orang tidak hanya berpotensi , dan berkeinginan untuk berkontribusi sebanyak mungkin pada organisasi. OD bertujuan untuk menghilangkan faktor faktor dalam organisasi yang menghambat perkembangan dan menghalangi orang untuk berkontribusi demi tercapainya sasaran organisasi.
• Manusia sebagai anggota dan pemimpin kelompok. Organisasi yang menerapkan OD harus berasumsi bahwa setiap orang dapat diterima dan diakui perannya oleh kelompok kerjanya. Dalam organisasi perlu ditumbuhkan keterbukaan agar para anggotanya dapat dengan leluasa mengungkapkan perasaannya dan pikirannya. Dalam keterbukaan , orang akan mendapatkan kepuasaan kerja yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian performansi kelompok akan lebih efektif.
• Manusi sebagai wadah organisasi. Hubungan antar kelompok – kelompok dalam organisasi menentukan efektivitas masing masing kelompok tersebut. Misalnya bila komunikasi antar-kelompok hanya terjadi pada tingkat manajernya , koordinasi dan kerjasama akan kurang efektif daripada bila segenap anggota kelompok terlibat dalam interaksi.

Sasaran OD
Atas dasar asumsi asumsi diatas, proses pengembangan organisasi diterapkan dengan sasaran :
1. Hubungan yang lebih efektif antara departemen , divisi dan kelompok kelompok kerja dalam PMII
2. Hubungan pribadi yang lebih efektif antara Pemimpin dan anggota pada semaua jenjang organisasi
3. Terhapusnya hambatan hambatan komunikasi antara pribadi dan kelompok
4. Berkembangnya iklim yang ditandai dengan saling percaya, dan keterbukaan yang dapat memotivasi serta menantang anggota organisasi untuk lebih berprestasi

Tahap tahap Penerapan OD
Dalam menerapkan OD , organisasi memerlukan konsultan yang ahli dalam bidang perilaku dan pengembangan organisasi. Konsultan tersebut bersifat sebagai agen pembaruan (agent of change), dan fungsi utamanya adalah membantu warga organisasi menghadapi perubahan, melalui teknik teknik OD yang sesuai dengan kebutuhan organisasi tersebut. Proses penerapan OD dilakukan dalam empat tahap :
I. Tahap pengamatan sistem manajemen atau tahap pengumpulan data. Dalam tahap ini konsultan mengamati sistem dan prosedur yang berlaku di organisasi termasuk elemen elemen di dalamnya seperti struktur, manusianya, peralatan, bahan bahan yang digunakan dan bahkan situasi keuangannya. Data utama yang diperlukan adalah :
1. Fungsi utama tiap unit organisasi
2. Peran masing masing unit dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi
3. Proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan tindakan dalam masing masing unit
4. Kekuatan dalam organisasi yang mempengaruhi perilaku antar – kelompok dan antar individu dalam organisasi

II. Tahap diagnosis dan umpan balik. Dalam tahap ini kualitas pengorganisasian serta kegiatan operasional masing masing elemen dalam organisasi dianalisis dan dievaluasi . Ada beberapa kriteria yang umum digunakan dalam mengevaluasi kualitas elemen elemen tersebut, diantaranya :
1. Kemampuan beradaptasi, yaitu kemampuan mengarahkan kegiatan dan tenaga dalam memecahkan masalah yang dihadapi
2. Tanggung jawab : kesesuaian antara tujuan individu dan tujuan organisasi
3. Identitas : kejelasan misi dan peran masing masing unit
4. Komunikasi ; kelancaran arus data dan informasi antar-unit dalam organisasi
5. Integrasi ; hubungan baik dan efektif antar-pribadi dan antar-kelompok, terutama dalam mengatasi konflik dan krisis
6. Pertumbuhan ; iklim yang sehat dan positif, yang mengutamakan eksperimen dan pembaruan , serta yang selalu menganggap pengembangan sebagai sasaran utama

III. Tahap pembaruan dalam organisasi. Dalam tahap ini dirancang pengembangan organisasi dan dirumuskan strategi memperkenalkan perubahan atau pembaruan. Strategi ini bertujuan meningkatkan efektivitas organisasi dengan cara mengoreksi kekurangan serta kelemahan yang dijumpai dalam proses diagnostik dan umpan balik. Mengingat bahwa setiap perubahan yang diperkenalkan akan mempengaruhi seluruh sistem dalam organisasi, bahkan mungkin akan mengubah sistem distribusi wewenang dan struktur organisasi, rancangan strategi pembaruan harus didiskusikan secara matang dan mendapat dukungan penuh pimpinan puncak.

IV. Tahap implementasi pembaruan. Tahap akhir dalam penerapan OD adalah pelaksanaan rencana pembaruan yang telah digariskan dan disetujui. Dalam tahap ini konsultan bekerja secaa penuh dengan staf manajemen dan para penyelia. Kegiatan implementasi perubahan meliputi :
1. perubahan struktur
2. perubahan proses dan prosedur
3. penjabaran kembali secara jelas tujuan sera sasaran organisasi
4. penjelasan tentang peranan dan mis masing masing unut dan anggota dalam organisasi

Teknik teknik OD
Ada berbagai teknik yang dirancang para ahli, dengan tujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi serta bekerja secara efektif, antar-individu maupun antar-kelompok dalam organisasi. Beberapa teknik yang sering digunakan berikut ini.
I. Sensitivity training, merupakan teknik OD yang pertama diperkenalkan dan ayang dahulu paling sering digunakan. Teknik ini sering disebut juga T-group. Dalam kelompok kelomok T (singkatan training) yang masing masing terdiri atas 6 – 10 peserta, pemimpin kelompok (terlatih) membimbing peserta meningkatkan kepekaan (sensitivity) terhadap orang lain, serta ketrampilan dalam hubunga antar-pribadi.

II. Team Building, adalah pendekatan yang bertujuan memperdalam efektivitas serta kepuasaan tiap individu dalam kelompok kerjanya atau tim. Teknik team building sangat membantu meningkatkan kerjasama dalam tim yang menangani proyek dan organisasinya bersifat matriks.

III. Survey feedback. Dalam teknik sruvey feedback. Tiap peserta diminta menjawab kuesioner yang dimaksud untuk mengukur persepsi serta sikap mereka (misalnya persepsi tentang kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan mereka). Hasil surveini diumpan balikkan pada setiap peserta, termasuk pada para penyelia dan manajer yang terlibat. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan kuliah atau lokakarya yang mengevaluasi hasil keseluruhan dan mengusulkan perbaikan perbaikan konstruktif.

IV. Transcational Analysis (TA). TA berkonsentrasi pada gaya komunikasi antar-individu. TA mengajarkan cara menyampaikan pesan yang jelas dan bertanggung jawab, serta cara menjawab yang wajar dan menyenangkan. TA dimaksudkan untuk mengurangi kebiasaan komunikasi yang buruk dan menyesatkan.

V. Intergroup activities. Fokus dalam teknik intergroup activities adalah peningkatan hubungan baik antar-kelompok.Ketergantungan antar kelompok , yang membentuk kesatuan organisasi, menimbulkan banyak masalah dalam koordinasi. Intergroup activities dirancang untuk meningkatkan kerjasama atau memecahkan konflik yang mungkin timbul akibat saling ketergantungan tersebut.

VI. Proses Consultation. Dalam Process consultation, konsultan OD mengamati komunikasi , pola pengambilan keputusan , gaya kepemimpinan, metode kerjasama, dan pemecahan konflik dalam tiap unit organisasi. Konsultan kemudian memberikan umpan balik pada semua pihak yang terlibat tentang proses yang telah diamatinya , serta menganjurkan tindakan koreksi.

VII. Grip OD. Pendekatan grip pada pengembangan organisasi di dasarkan pada konsep managerial grip yang diperkenalkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton. Konsep ini mengevaluasi gaya kepemimpinan mereka yang kurang efektif menjadi gaya kepemimpinan yang ideal, yang berorientasi maksimum pada aspek manusia maupun aspek produksi (kinerja).

VIII. Third-party peacemaking. Dalam menerapkan teknik ini, konsultan OD berperan sebagai pihak ketiga yang memanfaatkan berbagai cara menengahi sengketa, serta berbagai teknik negosiasi untuk memecahkan persoalan atau konflik antar-individu dan kelompok.