Selasa, 23 Juni 2009

Membangun Formulasi Ideologi PMII yang Inklusif


Oleh ; Moh. Asnawi

A. Muqaddimah
Mungkin Ibnu Majah tidak akan menyangka jika salah satu hadits yang dia bukukan akan menjadi polemik yang berkepanjangan di kalangan pemikir Islam . Sebuah hadits yang sampai saat ini sering digunakan sebagai klaim kebenaran aliran Islam tentang keberadaan satu-satunya golongan dalam agama Islam yang selamat yaitu Ma ana ‘alaihi Wa ash-haabih yang kemudian diidentikkan dengan istilah ahlussunnah wal Jamaah, terlepas kontrofersi akan keshohihan hadits tersebut. Yang jelas istilah Aswaja (ahlussunnah Wal Jamaah) yang dilahirkan dari rahim hadits tersebut pada perkembangan sejarah selanjutnya telah merambah pada wilayah ‘Ilmu Kalam terus masuk pada wilayah Madzhab dan bahkan kini telah dijustifikasi atau mungkin dipaksakan untuk menjadi sebuah ideology.
Ahlussunnah Wal Jamaah (bukan ahlus sun wal Jima’) yang lahir dan berproses dalam sejarah , saat ini telah menjadi sebuah term yang tidak jelas, sulit didefinisikan dan terkesan mengalami penyempitan makna dan pengingkaran terhadap factor histories. Untuk itu perlu kiranya kita mencoba membedah dan mendudukkan istilah tersebut secara arif dan jujur dalam rangka membangun kembali esensi aswaja untuk bisa dijadikan Manhajul Fikri seperti yang telah dirintis oleh kang Said Aqiel Siradj
Pada tahun 1995 yang sebenarnya sangat tepat untuk dibawa pada sebuah pendekatan ideologi .B. Aswaja, sebuah pendekatan definisi
Ahlussunnah jika dipilah secara Harfiah bisa dibagi menjadi dua istilah yakni ahlussunnah dan Al Jamaah. Ahlussunnah ,dari berbagai definisi yang ada bisa diambil beberapa pengertian sebagai berikut :
1. Golongan yang mewarisi hadits Nabi yang shohih (Duhr Al Islam, Ahmad Amin),
2. Semua yang berasal dari Nabi
3. Pengikut Nabi

Sedang beberapa pendefinisian Al Jamaah yang bisa kami tampilkan disinii antara lain :
1. Mayoritas umat Islam, Jamaah terbesar dan umat terbesar (Sadru syarih Al Mahbubi)
2. Jalan yang di bangun oleh para shahabat Nabi (Imam Zubaidi)
3. Al I’tishan (Syatibi) , al jamaah menyangkut lima pengertian
a. Shohabat
b. Ulama’ Mujtahid
c. Kesepakatan kaum Muslimin
d. Umat Islam dengan satu kepemimpinan
e. Umat Islam Mayoritas

Dari berbagai pendekatan definisi tersebut, dapat diambil pengertian secara tekstual bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah adalah :
Golongan kaum Muslimin yang mengkikuti jejak Rasulullah dan shahabat dalam membangun metode pemahaman, dan menafsirkan nash
Selain itu ada banyak lagi pendefinisian istilah aswaja , misalnya yang di identikkan dengan manhaj salaf, seperti yang dilontarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa , beliau menyatakan bahwa Aswaja adalah manhaj yang mengikuti atsar Rasulullah secara dhahir dan bathin, para khulafaurrasyidin dan meninggalkan segala bid’ah yang bukan dari Rasulullah.
mungkin dua pendefinisian ini cukup representatif sebagai bahan ilustrasi awal dan tidak perlu diperdebatkan lagi berbagai perbedaan yang tidak substansi akan berbagai definisi harfiah maupun istilah yang ada dan berkembang dalam khazanah Islam. Dan untuk berikutnya mari kita lihat sekilas sejarah dan realitas kemunculan dan perkembangan paham Ahlussunnah wal Jamaah demi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih Komprehensif

C. Kontroversi sejarah Aswaja
Kehadiran Muhammad di dunia ini sebagai juru bicara Tuhan terakhir telah melahirkan ‘komunitas’ baru dalam peradaban dunia. Islam yang merupakan agama baru pada saat itu telah membawa banyak perubahan berarti di jazirah Arab baik di ranah tauhid, moral, maupun peradaban budaya. Muhammad yang di satu sisi merupakan pemimpin struktur kemasyarakatan Islam,dan di sisi lain sebagai pemimpin agama , pada saat itu memang sukses membawa Arab pada satu kesatuan politik dan satu kesatuan tauhid, dimana sentral instuksi, problem solving, pemahaman dan pengimplementasian terhadap hukum positiv (Al Quran) yang berlaku di situ berada pada satu tangan ,yaitu Muhammad. Dan konon segala aktifitas, perkataan/ketetapan dan taqrir yang berasal dari beliaupun mempunyai kekuatan sebagai produk hukum Tuhan yang harus diikuti oleh seluruh pengikutnya (As Sunnah).
Namun kemudian berbagai permasalahan timbul dan menghujani kaum Muslimin seiring berputarnya roda sejarah. Sepeninggal Nabi , lebih spesifik lagi setelah terjadi peristiwa besar dalam sejarah Islam ,yakni terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan (innaa lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun) oleh kaum muslimin sendiri, muncul polemik perpolitikan di Madinah sebagai pusat kendali masyarakat (negara) Islam yang hal itu merupakan pemicu awal perpecahan umat, baik perpecahan kekuasaan maupun I’tiqod (keyakinan). Ali Bin Abi Tholib yang merupakan khalifah pengganti terpilih sesuai ijma’ shahabat madinah rupanya belum bisa diterima oleh kubu Muawiyah yang memiliki kekuatan di wilayah Syiria , terlebih setelah berbagai kebijakan Ali yang sangat tidak menguntungkan Muawiyah menjadikan krisis politik dan stabilitas negara mengarah kepada konfrontasi berdarah. Pada masa inilah mulai muncul Alfitnatul Kubra,yaitu sebuah renteten pertikaain dan perselisihan antara umat Islam sendiri dalam kancah peperanagn fisik yang telah menghabiskan banyak korban disatu sisi dan disisi lain mulai mucul polarisasi Tauhid yang diawali ketika terjadi perpecahan kelompok Ali menjadi Khawarij(golongan yang keluar dari Ali) dan syi’ah (golongan yang tetap setia pada Ali) yang disebabkan perbedaan sikap politik terhadap diadakannya perjanjian Daumatu Jandal ditengah berkecamukny Perang Shiffin antara Ali-Muawiyah. Meskipun perpecahan tersebut berawal dari problematika politik namun kemudian perpecahan itu mengarah pada permasalahan I’tiqadi(tauhid). Dari mata rantai awal inilah kemudian terus menerus bermunculan aliran–aliran kalam dalam Tarikh Islam yang memang tidak bisa terlepas dari dimensi politik. Mulai dari paham jabariah-qadariah-mu’tazilah-murjiah sampai pada Asy’ariah wa ‘ala alihi washohbihi ajma’iin. Namun disini mungkin kita tidak perlu mengungkap detail berbagai pemikiran kalam yang menjamur dan njlimet tersebut, tetapi kita mencoba disini untuk mengamati proses kelahiran paham asy’ariah yang pada kemudian hari diidentikkan dengan paham aswaja
Abu Hasan al Asyari (873-935 H) pada awalnya adalah tokoh utama paham Mu’tazilah di Basrah murid dari Al Juba’i. Kompetisi teologi pada saat itu memang sangat menguntungkan bagi kaum mu’tazilah sehingga menempatkan paham itu sebagai ideology Negara. Sedangkan golongan/komunitas ahlu hadits sebagai salah satu unsure penting pembentuk paham aswaja pada saat itu sangat termarginalkan bahkan mengalami tekanan berat oleh penguasa. Sampai pada saat kepemimpinan Daulah Abasyiah berada di tangan Al Mutawakil ,ideology Mu’tazilah mengalami penggusuran dan disatu sisi paham Ahlul Hadits mulai mendapat tempat.
Asy’ari yang kemudian meninggalkan paham mu’tazilah dan membuat sebuah rumusan pemahaman kalam (yang dikenal dengan paham Asy’ariah) dan mendudukkan secara arif mengenai ; salafiah(tekstualis) vs ahlur ra’yu(rasionalis), jabariah(fatalism) vs qadariah (Freewillism). Dia membangun rumusan kalam dan melakukan sintesis terhadap pemahaman mu’tazilah yang sangat menkedepankan akal dan logika dengan paham ahlu hadits (Ahmad bin Hambal dkk) yang cenderung tekstual terhadap pemahaman agama. Hal ini tampak jelas dalam 2 kitab yang dia susun yaitu Al Istihsan yang berisi tentang perlunya penggunaan Ilmu Kalam dan Mantiq (logika/akal) dalam menyentuh ajaran Islam, serta Al lbanah yang tentang keterbatasan akal (rasionaltas) dalam memahami ajaran Islam.
Paham asy’ariah yang berisi berbagai konsep berfikir dan kerangka metodologis kalam dalam membaca ajaran islam baik menyangkut masalah ilahiyah maupun insaniyah tersebut kemudian berkembang pesat dan semakin dibesarkan oleh tokoh-tokoh pemikir Islam di era sesudahnya seperti Al Juwaini, Al Baqillani , dan Imam Ghozali. Bahkan Al Ghozali sebagai salah satu Tokoh utama kaum sunny, lewat Ihya’ Ulumuddin-nya bisa menempatkan tasawwuf secara proporsional ditengah konfrontasi Ilmu tashawuf antara tashawwuf salafi dan falsafati sehingga beliau mendapat gelar hujjattul Islam (sumber rujukan umat Islam), dan hal ini semakin memperkuat posisi Aswaja sebaga paham yang dianut mayoritas umat Islam sampai saat ini.
Sejak itulah Aswaja sebagai sebuah pemahaman komprehensif seolah-olah sudah dikatakan final dalam membangun tauhid Islam bahkan telah termaterialkan segala produk-produk ijtihad baik diwilayah I’tiqod maupun syariat. Namun rupanya sukses kaum sunny dalam mengusung Aswaja sehingga bisa diterima umat Islam tersebut malah membawa dampak pada kemunduran dan penyempitan Aswaja dimana sejarah telah mengawalinya sebagai sebuah metodologi pemahaman menjadi sebuah madzhab yang kaku dan ekslusif. Dan hal ini semakin parah ketika kemudian diiringi dengan bermunculannya berbagai organisasi gerakan Islam yang menempatkan Aswaja sebagai Madzhab yang dibakukan dengan berbagai versi yang berbeda.
Untuk itu perlu kita ungkap kembali sejarah dan kita bongkar bagaimana aswaja lahir dalam khazanah Islam dalam rangka untuk menempatkan aswaja sebagaimana mestinya, bukan merupakan aqwal yang sudah final.

D. Manhajul Fikri dan sebuah kedewasaan terhadap realitas
Sebagai kelanjutan proses ‘dekonstruksi aswaja’ tersebut rupanya perlu bagi PMII untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba mengambil atau menempatkan Aswaja sebagai ‘kacamata pandang’ dalam rangka membaca realiatsas Ketuhanan, realitas manusia dan realitas alam semesta. Namun tidak hanya berhenti sampai disitu , Aswaja sebaga Manhajul Fikri harus bisa menjadi ’cangkul’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut sebagai upaya mengkontekstualisasikan ajaran Islam sehingga benar-benar bisa membawa Islam sebagai rohmatan Lil Alamin, dengan tetap memegang tiga prinsip dasar Aswaja , yaitu :
1. Al’iqtishod/tawasuth .
Moderat,penengah . Selalu tampil dalam upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja.
2. Tawazun
Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan)
3. Tasamuh
Toleransi, sebuah prinsip yang responsip terhadap al urf (budaya) dan segala khazana dunia, yang tidak mengkedepankan simbolistik dalam upaya memasukkan dan membumikan nilai-nila Aswaja kepada umat manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar