Jumat, 19 Juni 2009

Ada Apa Dengan Kebijakan Pendidikan Kita?


Oleh : Kholifah Noviana

Wacana pendidikan merupakan suatu wacana populis (merakyat) yang tidak mungkin ada habisnya di negeri ini. Berbagai asumsi dan opini yang menjadi wacana mengenai pendidikan, banyak muncul terkait dengan nasib pendidikan kita yang selama ini masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Permasalahan-permasalahan seperti terlalu minimnya fasilitas pendidikan, mahalnya biaya pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini, merupakan pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah kita. Selama ini berbagai kebijakan dan terobosan telah dilakukan pemerintah untuk mendongkrak kemajuan pendidikan di negeri ini, namun hal tersebut hingga kini belum mampu memperlihatkan hasil yang sempurna, masih banyak permasalahan-permasalahan pendidikan yang harus dibenahi atau bahkan dirombak total. Dari sebab itu dalam tulisan ini redaksi berusaha sedikit mengurai mengenai beberapa hal terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia.

Problem Pemerintah Dalam Penerapan Kebijakan Pendidikan
Selama kurun tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah kebijakan BOS (bantuan Operasional Sekolah) dan penerapan standar kelulusan UN sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut mampu menjadi solusi bagi kemajuan pendidikan di Indonesia? Karena pada tataran realitas, selama ini nasib pendidikan di Indonesia kalau tidak dikatakan mundur berarti masih tetap berjalan di tempat. 
Ada dua hal mungkin yang bisa menjadi sorotan terkait kurang optimalnya pemerintah dalam membenahi sistem pendidikan nasional di Indonesia. Yang pertama, adalah harus adanya penerapan kebijakan yang berbasiskan pada realitas pendidikan. Penerapan kebijakan yang berbasiskan realitas merupakan suatu hal yang wajib menjadi landasan dalam setiap kebijakan pendidikan. Karena realitas mampu menampilkan kondisi pendidikan yang sesungguhnya. 
Basis realitas pendidikan yang dimaksud adalah basis realitas pendidikan yang diambil secara komprehensif (menyeluruh) dan objektif yang terdapat pada seluruh daerah di Indonesia. Faktor komprehensifitas dan objektifitas ini menjadi prinsip utama dalam penerapan kebijakan yang berbasiskan realitas, karena dari kedua prinsip ini gambaran realitas pendidikan di Indonesia tidak akan menjadi abu-abu dan sempit. Dari sinilah kemudian kebijakan-kebijakan baru bisa diterapkan.  
Kemudian yang kedua, adalah peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan kontrolling terkait dengan penerapan kebijakan-kebijakan pendidikannya. Peran pemerintah dalam melakukan pengawasan kebijakannya tersebut menempati posisi yang sangat urgen pada tataran keberhasilan penerapan kebijakannya tersebut. Selama ini, hal yang paling rapuh dan lemah dalam usaha memajukan pendidikan di Indonesia adalah tidak adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat terkait dengan kebijakan-kebijakannya. Hal tersebut kemudian bisa melahirkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para oknum di daerah-daerah yang merasa leluasa tanpa adanya pengawasan dari pusat.
Suatu contoh adalah dengan adanya kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang selama setahun terakhir ini menjadi sorotan berbagai kalangan pemerhati pendidikan di Indonesia. Pidato Presiden SBY pada Rapat Paripurna DPR Agustus 2006 yang menyatakan bahwa pemerintah telah mendistribusiskan BOS ke 29,4 Juta murid SD dan 10,5 Juta murid SMP, pada perspektif pemerintah pusat hal itu mungkin merupakan suatu terobosan yang spektakuler dan menjadi parameter bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Namun, bagi sebagian kalangan pemerhati pendidikan hal tersebut hanya merupakan setitik kemajuan yang hanya dapat dilihat dari segi jumlah atau kuantitas umum saja. Karen pada tataran praksis di lapangannya distribusi dana BOS yang disampaikan Presiden SBY tersebut belum mampu secara utuh meringankan beban biaya pendidikan masyarakat. Karena lagi-lagi hal yang substansialnya meringankan beban biaya pendidikan tersebut, justru oleh beberapa kelompok oknum di daerah-daerah dimanfaatkan sebagai lahan baru bagi praktek-praktek korupsi dan rekayasa untuk melahirkan biaya-biaya baru yang diperuntukkan kepada murid di luar biaya BOS.
Jadi, pada satu sisi ada upaya pemerintah meringankan beban biaya pendidikan masyarakat dan pada sisi lainnya ada upaya beberapa oknum untuk menciptakan tarikan beban biaya baru di luar BOS yang harus ditanggung oleh masyarakat. Ketumpangtindihan dan rekayasa model baru inilah yang terjadi pada masyarakat kita. Hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya pengawasan pemerintah pusat dalam mengawal kebijakan-kebijakannya, yang akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban beban biaya pendidikan terus-menerus.  

UAN dan UN.
Sebagai sebuah upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, sejak tahun ajaran 2002/2003 pemerintah menggalakkan kebijakan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai standarisasi nilai kelulusan secara nasional. Kebijakan ini sejak digulirkan hingga kini menjadi polemik tersendiri bagi kalangan pemerhati pendidikan di Indonesia, bahkan bagi pihak kementrian pendidikan nasional sendiri pun harus disibukkan dengan kebijakannya ini.
Pokok permasalahan dalam kebijakan UAN adalah pada tahap standarisasi nilai kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Semenjak pertama UAN digulirkan standard nilai yang diterapkan oleh pemerintah adalah 3,01. Kemudian, pasca UAN diganti dengan UN (Ujian Nasional) standar nilai kelulusan semakin meningkat dengan nilai 4.01 (2004/2005), kemudian meningkat lagi pada tahun berikutnya menjadi 4,26 (2005/2006).
Standar nilai kelulusan ini ditetapkan dan disesuaikan dengan target yang diidealkan pemerintah. Pemerintah mengharap bahwa dengan penerapan sistem standar nilai kelulusan ini, pemerintah dapat mengangkat mutu pendidikan di Indonesia. Hal tersebut kemudian menjadi sangat kontradiktif dengan apa yang ada pada pandangan pemerhati pendidikan di Indonesia atau bahkan dalam kacamata masyarakat itu sendiri. Bagi para pemerhati pendidikan, UN merupakan kesalahan interpretasi pemerintah dalam memahami evaluasi dari standard pendidikan nasional. 
Seperti apa yang disampaikan oleh Deni Hadiana (Perekayasa Pendidikan Litbang Diknas), bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan UN. Pertama, kesalahpahaman interpretasi terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Dan yang kedua, adalah UN belum mampu mencerminkan keadilan bagi peserta didik, hal tersebut bisa dilihat dari masih tingginya disparitas mutu pendidikan antar satu sekolah dengan sekolah lainnya, yang kemudian bisa melahirkan persaingan yang tidak sehat antar sekolah atau bahkan pihak sekolah akan melakukan kecurangan-kecurangan demi mencapai target standar kelulusan UN.
Di samping itu, pada wilayah masyarakat dan pelaku pendidikan, standar UN seakan-akan menjadi “momok” yang menakutkan. Banyak orang tua siswa dan pelaku pendidikan yang menjadi gelisah setiap menjelang UN. Bahkan beberapa siswa harus mengalami shocktrauma dalam menghadapi UN.
Dari uraian tersebut, mungkin terdapat beberapa hal yang memang harus disikapi baik oleh pemerintah, pengamat pendidikan, sekolah dan para orang tua murid, terkait dengan UN. Yang pertama, perlunya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Kedua, perlu diterapkannya tahapan dalam menerapkan standar UN yang berbasis sekolah dan psikologi siswa. Dan yang terakhir adalah adanya pengawasan yang kontinyu baik oleh pemerintah maupun masyarakat terhadap realisasi dari UN tersebut.
Penutup  
Dari berbagai uraian di atas tersebut ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan refleksi bagi kita dalam melihat perkembangan nasib pendidikan di Indonesia. Setidak-tidaknya ada benang merah yang bisa kita usut dalam menyikapi nasib pendidikan di Indonesia. Dan bisa menjadi landasan dalam menyikapi pendidikan secara arif, agar seluruh kalangan bisa menyadari akan arti vital dari pendidikan. Bukankah pepatah lama selalu mengatakan bahwa ilmu itu adalah cahaya bagi kehidupan. Jadi pendidikan adalah pilar dasar bagi kemajuan Indonesia pada masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar